Untuk Seorang Ibu
Nb: Ibu yang aku maksud di tulisan ini aku sebut inang. Inang adalah bahasa batak dari ibu.
Hanya permintaan kecil yang inang pinta padaku.
Lewat telfon inang pinta kala aku telfonan dengan putri inang yang adalah temanku.
Dengan senang hati aku mengabulkannya.
Nenas yang inang pinta aku bawa dan kuberikan kepada inang kala kita bertemu untuk pertama kalinya.
Dari pancaran wajah inang yang sederhana itu,
terlihat jelas bahwa inang tidak percaya kalau aku serius membawa yang inang pinta.
Inang lalu mengucapkan terimakasih kepadaku dengan diselimuti rasa haru.
Ah,
di kemudian hari inang memuji ibuku karena perbuatan baikku itu.
Namun inang tidak tahu,
putri inang yang adalah temanku juga tidak tahu.
Bahwa saat kita berpisah aku ingin memeluk inang.
Aku ingin berseru kepada inang:
"Inang, bolehkah aku memeluk inang?"
Tak banyak yang sempat kita bicarakan.
Tak banyak waktu yang sempat kita habiskan.
Namun aku kagum akan sosok inang yang sederhana itu.
Namun aku malu untuk berseru.
Aku takut inang menolaknya karena kita baru saling mengenal.
Aku takut kalau permintaanku salah dinilai oleh orang yang melihat.
Kalau aku memeluk inang nanti dinilai sebagai kode kalau aku ingin menjadi menantu inang.
Memang tak kupejamkan mataku.
Tak kulipat tanganku.
Hanya kuungkapkan dalam hatiku.
Semoga Tuhan memberkati inang umur panjang dan kiranya Dia mengizinkan kita untuk bertemu lagi.
Kalau kita bertemu lagi,
aku tidak akan malu lagi untuk meminta izin memeluk inang.
Itulah doa dan janjiku setelah kita berpisah.
Keinginanku untuk memeluk inang yang belum terkabul itu,
seolah itulah yang mendorongku untuk ingin tahu kabar inang.
Aku sering menanyakan kabar inang kepada putri inang yang adalah temanku.
Ketika gempa mengguncang Tarutung,
aku menanyakan kabar inang.
Inang beserta keluarga selamat sentosa.
Setahun setelah pertemuan pertama kita
Kala bertemu untuk pertama kalinya dengan putri inang di awal tahun 2023,
aku lupa menanyakan kabar inang.
Besok harinya aku menanyakannya dengan mengirim pesan whatsapp kepada putri inang.
Pertanyaanku itu membuat putri inang seketika kaget,
itu pengakuannya.
Aku jadi kaget padahal bukan hal baru bagiku menanyakan kabar inang kepadanya.
"Kenapa kakak kaget?" tanyaku.
"Saat tahun baru kemarin mamaku sakit,
tetapi sekarang sudah agak mendingan katanya.
Doakan ya supaya mamaku cepat sembut." balasnya.
Malam itu aku mendoakan inang supaya cepat sembuh.
Hari itu pun tiba.
Belum genap dua minggu setelah aku mendoakan inang.
Itu adalah hari yang mengejutkanku.
Sebuah informasi aku terima.
Isinya:
Inang telah dipanggil Allah Sang pemilik hidup.
Aku sedih.
Aku merasa bersalah karena sempat membuat putri inang kaget gara-gara aku menanyakan kabar inang.
Hatiku dalam keadaan tidak baik saat mendapatkan informasi itu.
Tidak baik karena ada hal lain yang menyakiti hatiku.
Dua hari berikutnya aku memutuskan untuk merenungi hal-hal yang menyebabkan hatiku sedih dengan naik kereta api dari Kota Padang - Padang Pariaman,
termasuk merenungi kepergian inang.
Dalam kereta aku menyesali mengapa aku malu untuk memeluk inang pada pertemuan pertama kita.
Ditambah aku tidak bisa berbuat banyak untuk bisa melihat wajah inang yang terakhir kalinya.
Dalam kereta aku menyadari bahwa pertemuan kita yang pertama,
itu juga menjadi pertemuan kita yang terakhir.
Memang yang aku rasakan tidak sedalam kesedihan yang dirasakan putri inang,
tapi aku ikut sedih inang dengan kepergian inang.
Dari dalam kereta aku mengucapkan:
selamat jalan inang.
Pesan untuk putri inang:
Yang kuat ya kak 💪
🙏
Komentar
Posting Komentar