BELAJAR DARI LEA
Sepanjang tahun ini, saya sangat dekat dengan yang namanya kecewa. Saya masih ingat ketika memulai awal tahun 2023, saya memulainya dengan membawa kekecewaan dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2022. Saya sangat kecewa hampir di seluruh aspek kehidupanku. Saya kecewa dengan pekerjaanku, relasi dengan sesama, keluarga, serta dalam pencarian teman hidup dan pada akhirnya kecewa kepada Tuhan.
Saya
mulai tidak tahan (tidak terima) dengan kekecewaanku ketika aku keluar dari
Kalimantan Timur. Sejak saat itu, aku mulai berani bertanya kepada Tuhan. “Mengapa
Tuhan keadaanku jadi begini? Mengapa Tuhan biarkan aku begini terus padahal aku
sudah mencoba sebelum kemana pun aku pergi dan sebelum memutuskan apapun aku
selalu berdoa? Aku pergi ke Kalimantan, itu aku doakan sebelumnya sampai aku
yakin, bahkan sampai meminjam uang untuk ongkos. Aku keluar dari Kalimantan
juga aku doakan serta dengan mempertimbangan baik dan buruknya, dimana hal-hal
buruk yang banyak aku dapati. Kenapa jalanku jadi gelap begini?”
Aku
tak bisa sembunyikan lagi kekecewaanku. Selama 2 bulan aku benar-benar
menderita. Termenung saja seperti orang bodoh. Kekecewaan-kekecewaanku
sebelumnya, semuanya bermunculan ke fikiranku. Semuanya seoalah-olah mengatakan
bahwa aku bukan manusia berguna. Aku hanya bisa menyakiti orangtuaku,
teman-temanku, dsb. Bang Surya yang bersedia memberiku tumpangan di kemudian
hari mengaku, bahwa dia sangat mengkhawatirkan aku di masa-masa itu. Karena dia
harus bekerja sedangkan aku tinggal di kontrakannya. Dia mengaku khawatir aku
akan melakukan tindakan-tindakan yang aneh. Wkwk. Apalagi kalau lagi curhat
berdua, aku sering mengungkapkan penyesalan. Mulai dari penyesalan di masa lalu
hingga yang terbaru. Seperti “tak seharusnya aku keluar bang dari Kalimantan
meski aku sangat menderita disana. Harusnya aku penuhi keinginan orangtuaku
sekalipun pekerjaan yang ditawarkan keluarga kami itu bukan pekerjaan yang
kudoakan. Mungkin aku yang salah berdoa selama ini”
Bang
Surya membalas “kau tak boleh berfikiran begitu Co. Jalani apa yang sekarang
kau hadapi. Ada ya saatnya nanti kau akan mengerti, kenapa semua ini terjadi.
Tak mungkin kau bertahan disana sementara kau sangat menderita. Tidak mungkin kau
pergi ke tempat keluargamu sementara kau tak yakin setelah kau doakan. Bukannya
tidak kau doakan. Mendengar semua itu, aku pun tidak setuju kau disana. Kita
doakan, biar nanti orang tulang-nantulang (orangtuaku maksudnya) akan mengerti
juga.”
Sampailah
aku di puncak kekecewaanku pada bulan 10 lalu. Ketika aku minta bantuan kepada
teman-temanku, tak ada satu pun yang bisa menolong. Sulit bagiku menerima
kenyataan itu karena aku fikir permintaanku bukanlah hal yang terlalu berat.
Aku pun langsung memutuskan keluar dari komunitasku, komunitas yang membantuku
bertumbuh sejauh ini. Saya tak ingin komunitas tersebut buruk dimataku, karena
aku tahu dari komunitas tersebut sudah banyak melahirkan orang-orang baik. Aku
memilih keluar.
Semakin
bertambah kekecewaanku. Terungkit lagi kekecewaan-kekecewaan sebelumnya, soal
tidak pernahnya aku sejak dari mahasiswa hingga alumni terpilih mengambil peran
di komunitas yang baru kutinggalkan. Semakin menyudutkan diriku, baik di
pelayanan maupun di luar pelayanan, aku bukanlah orang yang berguna. “9 tahun
hanya jadi AKK doang, sungguh aku tak berguna sama sekali.” ucapku dalam hati.
Walaupun
sudah memutuskan keluar, aku berusaha tetap memelihara kebiasaanku. Kebiasaan
yang diajarkan komunitas yang baru kutinggalkan yaitu menjalin relasi dengan
Tuhan. Sambil terus berdamai dan mencari makna, saya membaca buku berjudul
Healing Is A Choice. Dari awal aku membaca buku tersebut hingga selesai di
akhir bulan 11, aku kefikiran trus kepada seorang teman yang aku sakiti di
bulan 3 lalu. Sebelum aku baca bukunya, aku sudah menutup rapat-rapat ingatanku
tentang orang tersebut. Karena aku malu dan kecewa dan tak menyangka aku
bersikap begitu kepadanya. Memang aku sudah minta maaf kepadanya lewat chat via
whatsapp saat aku di Kalimantan, dan dia pun sudah memaafkan, tetapi aku merasa
aku belum dimaafkan sepenuhnya, karena cara balasnya sudah beda dari
sebelumnya. Ibarat kata, dia memaafkan tetapi tidak mau lagi untuk berteman
denganku. Bagiku, ini sangat menyakitkan, sangat menamparku. Aku mengenalnya
seorang pemaaf. Gara-gara perkara itu aku takut berteman. Aku takut jika
melakukan kesalahan yang sama kepada orang lain maka akan bertambah banyak
kekecewaanku. Sebab orang seperti dia yang aku kenal pemaaf, tidak memaafkan
aku, apalagi orang yang tidak aku kenal karakternya. Hingga akhirnya aku berdamai
dengan menyadari bahwa aku pantas diabaikan olehnya. Aku menyadari bahwa aku
tidak pantas lagi menjadi temannya dia. Aku menyadari bahwa ketakutan berteman
menjadi hukuman bagiku akibat perbuatanku yang menyakiti hatinya.
Aku
terus mencoba berdamai dengan segala apa yang bisa kulakukan. Ada hal positif
ada juga hal negatifnya. Tetapi aku merasa, aku perlu juga pandangan dari orang
luar. Aku ajak bang Firstan, mantan PKK-ku di Tangerang untuk bercerita face to
face. Mantan ya…wkwkwk.
Kepada
bang Firstan aku ceritakan apa yang kualami setelah keluar dari komunitas kami.
Aku ceritakan juga semua kekecewaanku. Aku tanyakan juga pertanyaan yang belum
kutemukan jawabannya, kenapa aku tak pernah terpilih mengambil peran? Apa
kekuranganku? Kenapa aku terus menerus mengalami kekecewaan?
Dari
semua ceritaku, Bang Firstan menyampaikan salah satu kelemahan terbesarku yaitu
caraku mengendalikan perasaanku. Lalu bang First menceritakan contoh-contohnya
yang membuatku tersenyum namun merasa malu. Bang Firstan mengingatkanku akan
cerita dimana aku pernah naik sepeda motor dari Pekanbaru-Padang yang normalnya
8 jam waktu tempuhnya, kutempuh 6 jam demi mengantar kue kepada orang yang aku
suka. Ucap bg First “logikamu gak jalan kan bahwa kau bisa saja celaka dengan
lari 100?”. Tambahnya “dan kau kecewa karena kedatanganmu dianggap biasa-biasa
saja padahal kau sudah mempertaruhkan nyawa” ingin aku ngakak mendengarnya.
“Kira-kira seperti itulah kau kulihat di banyak hal. Karena kau kecewa tidak
ada yang bisa membantumu, kau langsung keluar dari komunitas” tegas bg First.
Aku
ingin menyembunyikan wajahku, bg First lanjut bicara lagi “Tetapi Ko, ada hal
positifnya, kau peka terhadap perasaan orang. Hatimu mudah tersentuh.
Rasa-rasanya, orang yang terluka, tetapi kau yang lebih terluka. Dan ingat Ko,
kau tak boleh berharap kepada manusia, kau akan kecewa pada akhirnya. Kemarin
kau berharap sama bang Herbet, kau kecewa. Nanti, bisa jadi kau berharap
samaku, dan kau kecewa lagi. Dan jangan berharap kepada komunitas juga.” Dan banyak
lagi saran dan pesan bang First kepadaku.
Pertemuan
dengan bang First membuatku jauh lebih baik dari sebelumnya. Ketika aku
menghadapi masalah-masalah baru, aku mencobanya dengan berharap hanya kepada
Tuhan walau masih ada yang melenceng.
Beberapa
hari kemudian, karena rindu sudah sangat berat, akhirnya aku bertemu kembali
dengan kak Dian. Kakak yang aku kenal di kota Padang. Inilah pertemuan kami
yang pertama sejak mereka pindah ke Cileungsi. Sebenarnya aku rindunya hanya
kepada anaknya, yang kupanggil bere. Aku ingin curhatkan semua keluh kesahku
kepadanya, tetapi karna usianya belum genap 2 tahun, yang perkataannya saja
tidak satu pun aku mengerti, akhirnya aku terpaksa curhat kepada mamaknya.
Sebagian
besar yang kuceritakan kepada bang First, aku ceritakan juga kepada kak Dian.
Kak Dian kesal, mau diambilnya mainan anaknya untuk memukulku. “Lama kali kau
sadar bang” ucap kak Dian. Dan dari kak Dian juga kudapati, kelemahan
terbesarku itu sama seperti yang diungkapkan bang First. Ikut pula kak Dian
menceritakan contoh yang lain yang dia lihat sendiri sewaktu di Padang, semakin
membuatku menyadari kelemahanku. Untung saja paginya saat teduhku tentang
menerima teguran, sehingga tegurannya kak Dian mudah kuterima.
Ada
sebuah foto di samping tv kak Dian. Aku tahu siapa saja di foto itu karena aku
pernah lihat kak Dian mempostingnya di story whatsappnya. Sejujurnya aku ingin
melihat foto itu secara dekat tetapi aku gak berani. Tanpa kuminta, Kak Dian
mengambilnya lalu membacakan ayat firman Tuhan yang tertulis di foto itu.
Ucapku “Sebenarnya dari tadi aku ingin melihat foto itu kak, tapi aku gak
berani”. “Kenapa?” tanya kak Dian. Lalu aku ceritakan orang yang aku sakiti di
bulan 3 lalu ada di foto itu. “Aku sangat bersalah kepadanya kak.”
Kemudian
kak Dian menceritakan sedikit tentang kabarnya orang yang aku tlah sakiti itu.
Dan aku semakin bersalah karena dampak
dari perbuatanku ke dia ada pengaruhnya bagi relasi dia dengan sesamanya.
Tetapi kak Dian menyakinkanku bahwa semua itu proses untuk bertumbuh.
Pulang
dari rumah kak Dian, aku kefikiran trus dengan diselimuti perasaan sangat
bersalah terhadap orang yang aku sakiti. Hingga besok harinnya aku terus
kefikiran. Aku kembali bertanya kepada Tuhan seakan-akan menyalahkan Tuhan.
“Tuhan, orang bilang aku ini orangnya berhati melow. Mudah tersentuh
perasaanku. Tetapi kenapa Tuhan memberikan perasaan ini kepadaku, tujuannya
untuk apa? Kenapa perasaanku jadi bomerang untukku dalam mengambil keputusan
dan dalam pergaulanku? Untuk apa hatiku gampang tersentuh tetapi disampingnya
aku menyakiti perasaan orang lain? Aku tidak suka dengan perasaanku ini.”
Malamnya
aku membaca Alkitab dari kejadian 27-29. Ada sebenarnya yang terbesit datang ke
fikiranku tetapi aku langsung berdoa dan kemudian merebahkan diri untuk tidur.
Tetapi fikiranku memikirkan kejadian 29 ayat 31-35 tentang Lea. Fikiranku
membawaku kepada sebuah buku yang pernah kubaca di tahun 2018. Dimana bukunya
mengulas tentang Lea. Akhirnya aku coba-coba ingat apa penjelasan bukunya.
Yang
kuingat sebagai intinya begini: Di kisah Lea ini, dari lahir anaknya yang
pertama sampai anak yang ketiga, fokusnya Lea bukan kepada berkat (anaknya),
bukan juga kepada si Pemberi Berkat yaitu Tuhan, tetapi kepada suaminya yaitu
Yakub. Dari 3 perkataan Lea ketika mendapat anak, itu arahnya kepada Yakub.
Yang pertama, ayat 32 “sesungguhnya TUHAN telah memperhatikan kesengsaraanku,
sekarang tentulah aku akan dicintai oleh suamiku.” Yang kedua, ayat 33
“Sesungguhnya, TUHAN telah mendengar, bahwa aku tidak dicintai, lalu
diberikan-Nya anak ini kepadaku.” Yang ketiga, ayat 34 “Sekali ini suamiku akan
lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya.”
Namun
di kedatangan anak keempat di ayat 35, perkataan Lea menjadi berbeda dari
sebelumnya. Penulis buku itu berkata, disinilah baru terjadi perubahan iman
Lea. Dimana fokus utamanya menjadi kepada si Pemberi Berkat yaitu Tuhan. Kata
Lea di ayat 35 “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN”
Aku
jadinya membayangkan kisah hidup Lea. Jelas dikatakan bahwa di ayat 17, bahwa
Lea tidak berseri matanya, yang artinya dia tidak seperti Rahel adiknya, elok
sikapnya dan cantik parasnya. Menurut buku yang kubaca, yang mau dikatakan
disana, kemungkinan Lea ini tidak menarik bagi Yakub sehingga dia tidak dicintai
Yakub. Ya, memang Yakub tertipu dibalik pernikahannya dengan Lea, tetapi
gambaran fisik Lea yang tidak berseri matanya, cukup menggambarkan bahwa Lea bukan
perempuan yang menarik.
Inti
dari yang aku bayangkan adalah dari lahirnya anak pertama bagi Lea hingga lahir
anak ketiga, itu adalah tahun-tahun dimana Lea terus-terusan kecewa karena
Yakub tak kunjung mencintainya. Dia berharap dengan adanya ketiga anaknya,
suaminya akan mencintainya, tetapi kenyataannya tidak. Betapa kecewanya dia.
Tetapi akhirnya setelah sekian tahun, Lea akhirnya menyadari bahwa Tuhanlah
yang harus diutamakannya.
Sekilas
aku terbayang kepada perjalananku sendiri. Ucapku dalam hati “Aku sama seperti
Lea, yang memendam kekecewaan bertahun-tahun lamanya. Aku kecewa karena dulu kuliah
tidak mengambil jurusan yang aku suka yaitu pendidikan olahraga. Aku kecewa
dengan kuliahku di perikanan sehingga aku sampai alpha studi satu semester.
Walau pada akhirnya selesai juga, aku kecewa dan malu ketika tamat jadinya 7 tahun,
padahal bisa lebih baik darisitu kalau seandainya aku dewasa menerima
jurusanku. Aku kecewa pada diriku sendiri karena orangtuaku beberapa kali
bersedih gara-gara keputusanku yang tidak menyenangkan hati mereka. Aku kecewa ketika
cintaku tertolak padahal aku sudah melakukan apa yang bisa kulakukan. Aku
kecewa ketika temanku yang kusakiti mau memaafkan tetapi tidak mau lagi
berteman denganku. Aku kecewa ketika komunitasku yang kuanggap seperti rumahku tidak
bisa membantu ketika aku terhimpit. Aku kecewa memiliki hati yang melankholis, dsb.”
“Padahal…”
berhenti sejenak menghitung berkat Tuhan “sama seperti Lea, aku juga dapat
banyak berkat. Ternyata yang salah selama ini adalah fokus utamaku yang tidak
tertuju kepada Tuhan.” Aku menyadari, aku diberi kesempatan kuliah di perikanan,
tetapi focus utamaku tertuju menjadi atlet. Aku diberi Tuhan kesempatan
menyelesaikan kuliah hingga sarjana, tetapi focus utamaku kepada bayangan tidak
ada perusahaan yang akan mau menerima diriku bekerja. “Gimana pun, perusahaan
pasti lebih menerima lulusan 4 tahun daripada aku” itulah yang sering kuucapkan
dulu. Aku kecewa ke temanku yang sudah memaafkan aku, tetapi karena dia tidak mau lagi
berteman denganku, focus utamaku menjadi takut melakukan kesalahan yang sama
lagi ke orang lain sehingga aku memilih tidak berteman dengan siapapun.
Aku
teringat ke pertanyaan kak Dian kala kami bercerita di rumahnya. Kak Dian
tiba-tiba bertanya “Siapa ya dirimu bang?” Asli aku tak bisa menjawab.
Pura-pura aku bertanya balik karena aku tidak bisa menjawabnya. “Dalam hal apa
kak?” tanyaku. Balasnya “jelaskan saja, siapa dirimu menurutmu”. Aku cuma jawab
“Nama saya Eko Saputra Panjaitan kak”
“Pantaslah…”
keluhku selesai menyadari semuanya. “Pantas aku tidak bisa menjelaskan siapa
diriku yang sesungguhnya. Karena aku pun baru sekarang mengenal siapa diriku.”
Didorong-dorong
hatiku untuk berdoa, tetapi kucoba menolak karena aku sudah berdoa tidur
sebelumnya. Di tengah-tengah kegelapan, karena lampu sudah kumatikan
sebelumnya, aku bangun dan duduk untuk berdoa. Aku ungkapkan semua kekecewaanku
kepada-Nya, ya, karena hati memang sudah tercipta mudah melow, air mata pun tak
bisa lagi ditahan. Pada akhirnya aku memilih seperti doa Lea ketika anak
keempatnya lahir. “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN.” Tambahku saat
menulis ini, “sekali ini dan untuk selamanya, aku akan bersyukur kepada TUHAN.”
Tidak
hanya sekedar mengucap syukur ya. Buku yang kubaca itu mengingatkanku. Lea itu
bersyukur dalam artian fokus utamanya sudah kepada TUHAN. Dan aku pun sepakat.
Terimakasih.
Semoga orang-orang yang aku sakiti, rela hati untuk memaafkan aku. Mencontek
lirik lagu Admesh berjudul Cinta Luar Biasa, aku mau katakan “terimalah tulisan
ini dari orang biasa. Tapi cintaku padamu luar biasa.”
Bekasi,
14 Desember 2024
Eko
Saputra Panjaitan.
Komentar
Posting Komentar