Akibat Berpisah

Pernah aku menyesal karena dekat dengan banyak orang. Penyesalan ini terjadi ketika aku sudah tinggal di Bekasi. Dimana sebelumnya aku kuliah di Pekanbaru di Universitas Riau. Tiga bulan setelah wisuda aku memutuskan merantau ke Bekasi.


Kalian boleh percaya atau tidak bahwa sangat sulit bagiku sendiri kala itu menerima bahwa aku telah jauh dari teman-teman seperjuanganku dan adik-adik juniorku yang dekat denganku. Aku tak tahu mereka anggap aku sebatas apa. Tapi bagiku mereka sudah seperti keluarga. Terlebih mereka yang satu jurusan denganku.


Ketika acara natal jurusan kami di tahun 2018, dimana besok harinya aku akan meninggalkan Pekanbaru, secara khusus aku meminta kepada panitia natal supaya aku yang membuat doa penutup. Tetapi sebelum doa penutup aku minta izin supaya diberi kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan dariku untuk mereka. Saat berbicara di depan mereka aku berusaha menahan air mata. Karena memang saat itu berat rasaku berpisah dari mereka.

 
Setelah aku di Bekasi, bisa jadi memang aku kesulitan menerima hal itu karena selama kuliah aku merasakan serta memiliki banyak hal-hal baru. Dimana hal-hal baru itu tidak aku temukan di Bekasi (padahal jika dilihat secara waktu, aku masih tergolong masih sebentar disana). Hal-hal baru itu misalnya komunitas (KMK, KTB), tim futsal (Sea Ghost FC, Sadongan FC) , teman seperjuangan dalam kuliah dengan waktu yang cukup lama (Pra Genti, Dek Yenny dll), punya junior yang begitu dekat (Fanny, Monica, Rudi dll), diandalkan beberapa orang, seseorang yang disukai, dsb. Aku seperti belum sadar bahwa keadaan maupun lingkunganku sudah berubah. Apalagi roda kehidupan di Bekasi begitu cepat jauh lebih cepat dari roda kehidupan di Pekanbaru. Hal itu seakan menambah keyakinan mistisku bahwa jiwaku tertinggal di Pekanbaru.

Sempat aku berjanji dalam hati. Jika aku mengenal orang baru, siapapun dia, aku takkan mau lagi dekat sedemikian rupa. Aku akan membatasi jarak dan hati.

Pada awal bulan 3 tahun 2020 (beberapa minggu sebelum covid-19 masuk ke Indonesia) aku memiliki kesempatan untuk keluar dari Bekasi. Aku sangat bersyukur kesempatan itu ada karena seorang teman mau membantuku dengan menjanjikan mengirim sejumlah uang untuk aku membeli tiket pesawat. "Kemana abang mau pergi?" Tanya temanku itu. Dengan tegas dan penuh keyakinan aku menjawab "Pekanbaru".

Ketika pesawat yang aku tumpangi lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pekanbaru hatiku pun sangat gembira. Jika ada orang yang memperhatikan mataku saat itu, aku rasa mereka akan mengatakan mataku sedang berkaca-kaca. Ingin rasanya saat itu meminta sang pilot memutar lagu Andra the Backbone berjudul 'Seperti hidup kembali'. Semangat baru itu benar-benar menghidupiku. Di dalam pesawat segera aku fikirkan mimpi apa yang akan aku cari sebelum tiba di Pekanbaru. Aku pun berdoa "Tuhan, aku ingin di kota dimana disitu aku mendapatkan pekerjaan, kiranya di kota itu juga aku menemukan jodohku." Doaku terlalu egois ndak? Langsung meminta 2 hal besar yang diinginkan hampir semua orang. Dasar aku.

Setibanya di Bandara Sultan Syarif Kasim II, hatiku pun legowo. Sembari berjalan menuju pintu penjemputan penumpang, aku dengan murah hati senyum kepada orang-orang yang berpapasan denganku. Mengingatkan kehidupanku kala di kampus saat bertemu mahasiswi baru, tebar senyuman.

Aku pun tiba di halte bus Trans Metro Pekanbaru di depan titik penjemputan penumpang. Tak butuh waktu lama busnya segera datang. Tak ada keraguan maupun kekhawatiran untuk melangkahkan kakiku masuk ke dalam bus tersebut. Ingin aku mendekati supir busnya dan berbisik padanya "bawalah aku kemana saja, aku takkan tersesat. Aku sudah tahu sudut-sudut Pekanbaru ini". Aku mulai sombong.

Di dalam bus aku teringat dimana sewaktu aku kuliah, aku sering menaiki bus Trans Metro Pekanbaru kalau mau ibadah ke HKBP Hangtuah (Kota). Ah, masih beberapa menit aku tiba di Pekanbaru, rasa-rasanya satu per satu kenangan-kenanganku disingkapkan begitu saja.

Seiring berjalannya waktu, perlahan aku merasa membaik. Dalam kondisi pandemik covid-19, sesekali aku pergi sendiri ke kampus tercinta, Unri, untuk mengunjungi fakultas tercinta yaitu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Faperika) yang saat itu libur karena lockdown/PSBB. Duduk di Gazebo atau Dibawah Pohon Rindang (DPR) membangkitkan sejuta kenangan seperti canda tawa bersama teman, kantin jujur dimana sering gorengan (dagangan) habis tetapi uangnya entah dimana. Gara-gara kantin jujur aku pernah menyarankan teman supaya membuka fotocopy jujur di Gazebo tersebut. Entah ide darimana. Teringat juga akan seseorang yang sempat spesial di hati pernah merendahkan aku di Gazebo tersebut dengan mengataiku bermulut ember karena aku mencurigai dia mencuri skripsi dari perpustakaan. Belum lagi tuduhan-tuduhan adik-adik junior yang mengataiku betah di Gazebo bukan karena menumpang Wifi gratis tetapi mau tebar pesona ke setiap adik-adik yang berlewatan. Ah, sudahlah. Terlalu manis untuk diungkapkan semuanya. 

Saat berkunjung ke Faperika

Untuk memuaskan hasrat, tak lupa juga aku menjumpai adik-adik juniorku yang masih ada di Pekanbaru. Bercerita-cerita kembali dengan mereka seperti seorang pendaki gunung yang sedang menghangatkan badannya dengan api kecil dengan membakar ranting-ranting kayu kering. Ah begitu hangat.

Aku bersyukur, sembari menjalani semua itu, seakan-akan ada yang terus mengingatkan aku dengan berkata "Cepat atau lambat semuanya akan berubah. Tidak ada yang tetap. Misalnya, lihatlah tak selamanya seorang Maba itu akan terus menjadi Maba. Perhatikan juga teman-temanmu yang seperjuanganmu sudah tidak ada di Pekanbaru lagi. Begitu juga dengan yang lainnya, pasti berubah."

Dengan penyertaan Tuhan yang luar biasa padaku, saat ini aku diizinkan-Nya tinggal di kota Padang. Aku merasakan kasih-Nya, pekerjaan disediakan-Nya bagiku. Tetapi jodohku belum ya.

Setelah begitu panjang aku memulai tulisan ini,  alasan sebenarnya mengapa aku menulis ini adalah karena aku merasa sedih karena salah satu temanku, satu kos-an, se-KTB, sering main badminton bersama, sering pulang bersama sehabis KTB dan main badminton, pergi ke Tua Pejat. Disana dia diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Entah mengapa aku sedih padahal jarangnya kami ngobrol kecuali di KTB. Hanya karena sering pulang bersama cukup buat aku sedih.

Teman yang pergi itu yang pakai masker putih ya. 

Aku jadi teringat janji yang pernah aku buat dalam hati. Yaitu jika aku mengenal orang baru,  siapapun dia, aku takkan mau dekat sedemikian rupa. Aku akan membatasi jarak dan hati. Aku sudah melanggar janji itu. Aku memang sudah melanggarnya tetapi aku tak menyesal melakukannya. Lewat tulisan ini, janji itu pun aku hilangkan dari hatiku. 

Semoga sukses buatmu teman. Doa yang sama juga kiranya terjadi buat aku dan buat semua orang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

v

Untuk Seorang Ibu

2022