BRAVOD

Kisah ini bercerita tentang seorang anak yang menuruti keinginan orangtuanya. Bravod ingin kuliah dengan jurusan matematika tetapi ayahnya meminta dia mengambil jurusan yang berkaitan dengan pertanian. Bravod begitu menghormati ayahnya lalu dia mengambil jurusan Agribisnis.

Pagi Hari

Di dapur ibu sedang memasak sup ayam spesial. Menu lauk kali ini spesial ibu masak untuk aku karena hari ini menjadi hari terakhirku di rumah sebelum pergi keluar kota. Di luar kota aku diterima di salah satu universitas besar dengan jurusan Agribisnis. Tanpa ayah minta sebenarnya, ibu sudah merencanakan sebelumnya dan telah mempersiapkan segala bumbu yang diperlukan untuk memasak makanan kesukaanku yaitu sup ayam spesial. Namun ayah tetap memintanya. Pada malam sebelumnya, sebelum tidur ayah meminta ibu untuk memasak makanan kesukaanku hari ini.


Pagi itu, ayah yang baru selesai membaca koran di teras rumah memperhatikan bahwa batang hidungku belum juga kelihatan. Ayah bertanya dimana keberadaanku kepada kedua adik laki-lakiku yang sedang bermain bulutangkis di halaman rumah.

 
"Hei boy. Dimana orang paling ganteng nomor 2?". Ayah selalu memanggil kami bertiga dengan sebutan boy.


Di rumah kami sepakat bahwa ayah adalah orang paling ganteng nomor satu. Aku nomor dua. Adikku Michael yang akan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi orang paling ganteng nomor tiga. Dan si bungsu Yosua yang baru naik ke kelas 5 Sekolah Dasar (SD) menjadi orang paling ganteng nomor empat.


"Abang masih tidur yah" jawab Michael.
Lalu ayah mendatangi ibu ke dapur. Biasanya ibu yang bertanggung jawab untuk membangunkan kami bertiga. "Jam segini Bravod belum juga bangun? Sayang, apakah aku perlu menyewa seekor ayam jantan untuk berkokok di kamarnya sekarang?" tanya Ayah sambil memperhatikan ibu memasak.

 
"Biarkan saja pak untuk hari ini saja. Lagian kan aku juga belum siap memasak"


"No no.. Gak ada alasan untuk telat bangun."


"Pak.. Ini hari terakhir Bravod di rumah ini loh. Ke depan belum tentu dia bisa pulang setiap tahun. Dia pasti akan merindukan rumah ini. Jadi biar ajalah hari ini dia menikmati tidurnya".


"Tidak sayang. Tidak ada toleransi untuk hal sekecil apapun. Kita tidak membesarkan anak-anak kita dengan memegang hal seperti itu".
Lalu ayah pergi dari dapur dan membuka pintu kamarku. Dari dapur ayah membawa 2 tutup panci stenless. Di pintu kamar ayah memukul tutup panci yang satu dengan yang kedua dengan kuat. Aku yang masih tertidur, terbangun karena kaget mendengar suara tutup panci. Aku memandang ayah dengan kesal.


"Ayah. Stoooppp". Terakhir aku merasakan seperti ini saat aku masih SD. Di mata ayah tidak ada bedanya hari libur dengan hari biasa. Tidak ada bedanya hari terakhir dengan hari pertama. Apapun yang terjadi tetap harus bangun pagi dengan disiplin.


"Karena hari ini hari terakhirmu di rumah ini, jangan jadikan itu sebagai alasanmu untuk telat bangun anak muda".


"Aku suntut semalaman yah. Tidak bisa tidur. Karena harus mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa (sambil menunjuk koper). Lalu memikirkan harus bagaimana aku nanti disana".


"Kamu tidak akan jadi orang sukses kalau hal seperti itu pun kamu keluhkan boy. Come on boy. Buat ayah yakin bisa melepasmu pergi".
Aku membawa handuk berjalan menuju kamar mandi melewati ibu yang hampir selesai memasak di dapur.

 
"Hai honey. Bagaimana tidurmu?" sapa ibu. Aku berhenti melangkah.

 
"Bu. Ayah tidak pernah mengerti apa yang sedang aku fikirkan. Ayah tidak pernah mau memahamiku".


"Jangan marah sayang. Ayahmu memang begitu, tegas akan pendiriannya. Tapi yang ibu lihat sejauh ini, ketegasan ayahmu tidak pernah mendatangkan hal buruk bagi kita".


"Tidak seharusnya selalu seperti itu ibu. Ada waktunya untuk tidak seperti itu."


"Ibu mengerti sayang. Kamu mandi saja ya. Sup ayam spesialnya mau siap ini".


"Thanks mom".


"Iya sayang".


Celengan

Satu jam kemudian kami sekeluarga makan bersama. Setelah itu ayah, ibu, Michael dan Yosua mengantar aku ke loket bus yang akan aku tumpangi. Kami menaiki mobil ayah menuju loket.

 
Di dalam mobil, sambil menyetir ayah memecah suasana dengan bertanya kepada Michael dan Yosua. Michael duduk persis di belakang bangku ayah. Aku duduk persis di belakang bangku ibu yang duduk di bangku depan di sebelah kiri ayah. Yosua duduk di tengah-tengah diantara aku dan Michael.


"Hei boy. Ada yang ingin kalian sampaikan kepada abang kalian?"


Michael dan Yosua hanya tersenyum saja. Aku, Michael dan Yosua bukan orang yang suka bercerita. Kami meniru ibu kami, tidak banyak bicara. Tetapi ayah selalu berhasil memancing kami berbicara. Itulah uniknya ayah.


"Hei boy, aku bukan seorang gadis muda yang bisa luluh dengan senyuman kalian" goda ayah.  Kami hanya tersenyum.


Ayah berusaha menatap Yosua.


"Apa yang ingin kamu katakan boy?"


"Kalau aku yah, aku senang abang pergi" jawab Yosua yang membuatku langsung menatapnya.

 
"Why?" tanya Ayah dengan ekspresi mengompori untuk memancing supaya aku kepanasan.


"Jadi berkurang satu orang yang menyuruh-nyuruhku di rumah yah" jawab Yosua yang membuat kami tertawa.


"Berarti selama ini kamu mengalami ketidakadilan boy.." balas ayah.


"Ya. Tetapi ada juga hal yang membuatku tidak senang dengan kepergian abang yah"


"Apa itu?"


"Dengan kepergian abang, otomatis pekerjaan abang di rumah dialihkan ke bang Michael dan pekerjaan bang Michael dialihkan kepadaku". Kami tertawa lagi.

 
"Sungguh itu tidak adil boy" bela ayah.


"Itu tidak masalah pa. Asalkan..." Yosua berhenti bicara. Dia menatap ibu yang duduk di bangku depan tetapi ibu tidak menyadarinya.

 
"Asalkan apa?" tanya ayah yang penasaran.


"Asalkan uang jajanku ditambah yah, sama dengan uang jajan bang Michael" kami tertawa lagi. Uang jajan kami bertiga berbeda-beda jumlahnya karena kebutuhan kami yang berbeda-beda. Uang jajanku lebih besar dari uang jajan Michael dan uang jajan Yosua. Uang jajan Michael lebih besar dari uang jajan Yosua.


"Haha. Itu seperti seorang pegawai kantoran boy. Kalau naik jabatan mesti naik gaji juga." balas ayah. "Saat ini masalah itu mari kita tuntaskan bersama boy. Karena menteri keuangan kita sedang bersama-sama dengan kita juga" timpal ayah.


Lalu ayah berpura-pura seperti seorang wartawan. Ayah mewancarai ibu.


"Selamat pagi ibu menteri. Sebagai menteri keuangan, bagaimana tanggapan ibu dengan keluhan pegawai anda bernama Yosua, dimana saudara Yosua mengalami kenaikan jabatan dan meminta gajinya supaya naik juga?"


"Itu hal yang wajar ya. Seorang pegawai yang naik jabatannya berhak menuntut gajinya supaya naik. Selaku menteri keuangan, permintaan saudara Yosua saya setujui" balas ibu yang membuat Yosua senang.


"Wow wow. Amazing" sahut ayah dengan heboh. Kami bertepuk tangan.

 
"Trimakasih ibu menteri" ucap Yosua.

 
"Tapi ada syarat tambahannya" balas Ibu yang membuat kegembiraan di wajah Yosua hilang sejenak.

 
"Apa itu?" tanya ayah.

 
"Tetapi uangnya dimasukkan ke dalam celengan".


Ayah seolah bersedih. "Oh itu sungguh tidak adil bagimu boy". Ucap ayah ke Yosua.


Yosua menyahut. "Yah, ayah tahu apa yang aku benci di rumah kita?"


"Apa itu?"


"Celengan yah"


Kami tertawa bersama-sama. Di rumah ayah sangat ketat dalam hal disiplin. Ibu sangat ketat dalam hal keuangan. Uang jajan kami selalu harus ada disisihkan untuk dimasukkan ke dalam celengan kami masing-masing.


Be Your Self

Sehabis Yosua cerita, ayah berusaha menoleh ke belakangnya untuk menatap Michael. 

"Bagaimana denganmu Boy. Apa yang ingin kamu sampaikan kepada abangmu?"

Aku penasaran dengan jawabannya. Aku menatap Michael. Disaat bersamaan Michael juga menatapku. Dari tatapannya seolah-olah dia tahu apa isi hatiku. Dia seakan tahu bahwa aku tidak senang dengan kepergianku. Dia tahu apa impianku yang sebenarnya. 

Kami pernah bercerita berdua. Kala itu dia mau masuk ke SMP. Malamnya dia mau mengisi biodata pribadi untuk dia bacakan besoknya di kelasnya untuk perkenalan. Dia bingung saat mau mengisi apa cita-citanya. Dia bertanya padaku apa cita-citaku untuk mendapatkan gambaran cita-citanya. 

Kepadanya kuungkapkan bahwa aku ingin menjadi seorang guru matematika. Kepadanya juga kukatakan bahwa aku telah memiliki pandangan tentang Universitas mana yang akan aku tuju kalau sudah tamat SMA. Dimana di Universitas itu sangat bagus pendidikan matematikanya.

Setahun setelahnya, saat kami bercerita kembali, dia berkata bahwa sejak kami bahas cita-cita setahun sebelumnya, setiap malam dia mendoakan aku supaya jadi seorang guru matematika. Mendengar hal itu, aku pun memintanya untuk terus mendoakan cita-citaku.

Tetapi kenyataannya aku lulus bukan di Universitas yang aku inginkan juga bukan dengan jurusan yang aku inginkan. Ayah menghendaki aku untuk kuliah dengan jurusan yang berkaitan dengan pertanian. Kelak aku diharapkan ayah bisa memajukan pertanian di desa kami. Dimana di desa kami itu masyarakatnya mayoritas sebagai petani. Ayah menyedihkan tidak adanya kemajuan yang signifikan terhadap pertanian di desa kami. Akhirnya aku memilih jurusan Agribisnis.

"Be your self" ucap Michael padaku lalu memalingkan wajahnya. Kata-kata itu menggetarkan hatiku. 

"Brilian boy. Be your self" sahut ayah dengan antusias. Ayah mengulanginya kembali "be your self. Be your self. Boy, ayah ingin tahu kamu dapat darimana kata-kata itu?"

"Itu sering diucapkan orang-orang sukses yah".

"Nice. Jadilah orang sukses nak. Michael, Yosua, Bravod, ke depan kalian bertiga harus masuk bilangan orang-orang sukses".

"Amin yah" sahut kami bertiga.

"Amin pa" tambah ibu.


Loket

Sesampainya di loket, ayah segera menyuruhku dan ibu untuk membeli tiket. Sementara ayah menurunkan semua barangku dari jok mobil. Michael dan Yosua menemani ayah.

Saat mau membeli tiket, aku sejenak melihat ayah sedang sibuk mengurus barangku. Aku meminta ibu untuk menahannya agar tidak membeli tiketnya. Lalu aku mengajak ibu mengobrol ke arah kamar mandi. Karena disana tidak ada orang.

"Bu, aku takut untuk pergi. Bisakah ibu menunda kepergianku ini?"

"Jangan takut nak. Kamu harus pergi. Ibu percaya kamu sanggup melaluinya".

"Tapi aku gak yakin bu"

"Itu karena kamu belum memulainya nak. Percayalah kalau kamu sudah memulainya, kamu jalani, kamu nikmati dan syukuri, semuanya bakalan indah". 

Aku menghela nafas sambil merenungkan kata-kata ibu.

"Baiklah bu"

Setelah memesan tiket, 15 menit kemudian bus yang aku tumpangi akan berangkat. Aku lebih dahulu memeluk Yosua dan Michael. Pesanku kepada mereka berdua supaya mereka tetap akur. Lalu aku memeluk ibu.

"Doakan aku supaya cepat lulus kuliah ya bu"

"Pasti nak. Baik-baik disana ya"

"Iya bu"

Setelah ibu, aku menghampiri ayah. Ayah bertanya sebelum memeluk aku.

"Ketika kamu menginjakkan kaki di suatu kota yang baru. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"

"Aku tahu yah. Usahakanlah kota kemana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Yeremia 29:7)".

"Ayah bangga padamu nak. Percayalah nak, tidak akan kamu temukan penyesalan jika kamu mengikuti Dia. Setialah pada-Nya maka kamu akan diberkati-Nya".

"Siap yah"

Lalu ayah memelukku erat sekali. Setelah itu, aku berbalik hendak melangkah menuju ke bus. Ayah memanggilku dan mengingatkanku. Aku berbalik memandang ayah.

"Boy, jangan kamu kira karena kamu jauh dari kami maka ayah gak bisa mengawasimu". Aku tersenyum. "Jika ayah tiba-tiba menelfonmu di pagi hari dan kamu tidak mengangkatnya maka ayah menganggapmu telat bangun seperti tadi pagi dan ayah pastikan kamu tidak berdoa di pagi hari".

"Aku akan ingat terus untuk berdoa di pagi hari yah".

"Ingat. Jika kamu melakukan 1 kesalahan, itu artinya uang bulananmu 1 bulan tidak ayah kirim".

Yosua menyahut. "Tapi kan yah yang megang uang adalah ibu. Tergantung ibu dong keputusannya".

"Oh bisa saja ayah gak mau memberi gaji ayah kepada ibu" balas ayah. 

Ibu hanya memandang ayah dengan mempelototinya. Aku tertawa.

"Dah yah, bu, Mic, Yos. Aku pergi. Aku sayang kalian".

"We love you. Dahh".

Aku masuk ke dalam bus. Bus berangkat. Lembaran baru pun dimulai.


Adik Baru

Setelah aku berangkat, ayah, ibu dan kedua adikku pulang ke rumah. Di perjalanan, di dalam mobil ibu terlihat murung karena percakapanku dengannya saat di loket membuat hatinya menjadi tidak tenang. Ibu tahu apa yang aku inginkan. Ibu tahu apa cita-citaku. Tapi ibu tidak berani menyampaikannya ke ayah. Di sisi yang lain, ibu melihat belum pernah ketegasan ayah mendatangkan hal buruk bagi kami. Jadi saat ayah dengan tegas memintaku kuliah dengan jurusan yang berkaitan dengan pertanian, ibu mendukung keputusan ayah. Karena ibu yakin akan pilihan ayah. 

Ayah yang melihat wajah ibu murung segera mencari jawabannya.

"Mama kenapa murung begitu?" tanya ayah. 

"Tidak kenapa-kenapa pa".

Ternyata ayah memperhatikan ketika aku dan ibu pergi ke arah kamar mandi loket.

"Memang apa yang Bravod bilang sama mama waktu kalian hilang sebentar tadi?"

Ibu sedikit terkejut. "Papa melihatnya?"

"Ya. Pas papa mengangkat koper Bravod, aku tak sengaja melihat ke arah kasir loket, mama sama Bravod tidak ada disana"

Ibu berusaha menutupinya dengan berbohong. "Bravod cuma bilang kalau dia rindu rumah, kita harus kirim sup ayam spesial padanya pa"

"Jadi karena hal itu mama sedih?"

"Tidak yah. Aku sedih karena membayangkan rumah tanpa Bravod"

Ayah berusaha menghibur ibu dengan candaan mereka akan buat anak lagi. Ayah menatap Michael dan Yosua yang duduk di belakang mereka. Ayah bertanya kepada mereka.

"Hei boy. Apakah kalian berdua setuju kalau kalian punya adik lagi?"

Michael langsung menjawab "nooo", sementara Yosua menjawab dengan semangat "Yaa".

"Oke. Mari kita bahas satu per satu" ayah bersemangat.

"Mengapa kamu menjawab no boy?" tanya ayah ke Michael.

Michael menceritakan kisah teman sebangkunya sewaktu kelas 2 SMP bernama Tony. Dimana Tony memiliki adik baru. Sewaktu adiknya lahir, para tetangga mereka serta sanak keluarga Tony berdatangan ke rumah mereka untuk melihat adiknya. Tony yang saat itu sedang menghadapi ujian kewalahan mengatur waktunya untuk belajar. Waktunya terganggu belajar karena banyak orang mengunjungi rumah mereka dan Tony disuruh orangtuanya untuk membersihkan rumah yang berantakan setelah ditinggal tamu-tamu mereka. Alhasil Tony mendapatkan nilai yang rendah. Padahal dia adalah ketua kelas yang harusnya jadi teladan. 

Lalu beberapa bulan setelahnya, orangtua Tony meminta Tony libur sekolah untuk menjaga adiknya di rumah. Alasannya, orangtuanya sibuk bekerja. Karena Tony sangat bertanggung jawab menjadi ketua kelas, Tony membawa adiknya ke sekolah. Teman-teman Tony selain Michael pada menertawai Tony. Untung saja guru yang mengajar saat itu tidak melarang hal itu. Malapetaka datang, ketika adik Tony buang air besar di celananya sendiri. Tony kelupaan pasang pampersnya dari rumahnya. Seketika ruangan kelas pun sangat bau. 

Saat diselidiki ternyata dari adiknya Tony sumber aroma bau itu. Semua orang yang di kelas kecuali aku sama ibu guru pada mengejek Tony dan adiknya. Kelas-kelas yang lainnya ikut mengetahuinya karena banyak dari kelas Tony yang menceritakannya sewaktu jam istrahat. Satu sekolah pada nertawai dia. Untung saja Tony tetap tegar.

"Wow, ada bagusnya itu untuk Tony sendiri" ayah menanggapi cerita Michael.

"Bagusnya dimana yah?" tanya Michael. 

"Ya itu bagus buat Curicullum Vitae (CV)Tony. Ketika dia nanti melamar seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dia sudah memiliki pengalaman yang menarik"

Tony yang kebingungan apa itu CV, lalu menanyakannya kepada ibu.

"Mom, CV itu apa?"

"CV itu adalah dokumen yang memberikan gambaran mengenai pengalaman seseorang dan kualifikasi lainnya. Biasanya dipakai orang untuk melamar pekerjaan. Jadi dengan CV itu, si perusahaan diharapkan tertarik kepada si pelamar kerja dan menerimanya bekerja".

Michael kesal mendengarnya. Lalu dia membentak ayah yang membuat suasana di dalam mobil menjadi tegang.

"Ayah mau candain Tony kawanku?"

"Ada yang salah dengan candaan ayah?" balas ayah tanpa merasa bersalah.

"Itu bukan cerita lucu yah. Itu penderitaan. Ayah candain penderitaan temanku, aku tak terima"

Ayah berusaha menenangkan Michael.

"Tenang. Kamu bilang itu penderitaan. Penderitaan darimana nak? Lah Tony sendiri saja tegar menghadapinya"

"Yah. Aku melihat langsung Tony menundukkan wajahnya di meja ketika melihat hasil ujiannya bernilai rendah. Dia menundukkan wajahnya dan meneteskan air mata. Dia takut bakal tinggal kelas. Dan asal ayah tahu, ketika satu sekolah menertawai dia gara-gara adiknya BAB di dalam kelas kami, dia sangat malu untuk melanjutkan sekolahnya. Dia malu menjadi seorang ketua kelas. Dia pun tidak punya banyak teman lagi. Tapi karena ayah bilang, kita harus menolong sesama kita apapun masalahnya, makanya aku mau menemani dia dan mendorongnya terus sampai tamat. Yah, kata Tony padaku kemarin, dia berencana tidak melanjutkan sekolahnya di desa kita ini karena kejadian itu, padahal dia ingin dekat terus dengan keluarganya juga denganku. Asal ayah tahu, orangtuanya tidak tahu kejadian itu".

Ayah terdiam. Michael menimpali kekesalannya. "Andai aku punya hak, akan ku jumpai kedua orangtua Tony untuk menceritakan semuanya dan mengatakan kepada mereka; kalau tak sanggup mengurus banyak anak, jangan tambahi anak lagi. Mereka gak sadar telah mengambil hak Tony. Tony itu butuh waktu yang banyak untuk belajar bukan mengasuh adiknya tetapi mereka telah merampasnya. Tidak hanya itu, mereka tidak sadar telah merusak mental Tony".

"Sorry boy. Ayah minta maaf nak" balas ayah. "Tak seharusnya ayah seperti barusan. Ayah bisa bayangkan gimana perasaan temanmu Tony. Semoga dia menjadi laki-laki hebat nantinya".

"Tak apa yah"

"Kamu yang kuat ya sayang" timpal Ibu. "Ibu bangga padamu. Jangan bosan jadi orang baik"

"Siap bu"

"Ayah juga bangga padamu nak" tambah ayah lagi. "Karena ayah melihat dalam dirimu itu ada sebagian kepribadian ayah. Tegas dan punya pendirian. Pertahankan nak"

"Iya yah"

Ayah memandang ibu serasa ingin menggodanya.

"Tak kamu lihat ma, anak kita, Michael, mirip dengan ayahnya. Tegas dan punya pendirian." ucap ayah. 

"Terserahmu deh pa" cetus ibu.

Ayah sedikit kesal. Padahal niatnya mau membuka cerita baru. Tapi ya begitulah ayah kami. Dia selalu punya bahan cerita dan tak pernah kehabisan ide. Kali ini ayah menatap Yosua. 

Bagaimana denganmu Boy. Jika abangmu bilang no dan alasannya telah kita dengar. Mengapa kamu setuju kalau kamu punya adek? Alasannya apa boy?"

"Aku ingin di rumah kita ada yang memanggil aku abang yah"

Ibu tersenyum mendengar jawaban Yosua. "Really?" tanya ayah dengan antusias.

"Yes dad. Aku ingin menyuruh-nyuruh dia".

Ayah menatap Yosua lagi. Kata ayah padanya "Ayah melihatmu boy seperti seseorang yang butuh kekuasaan dan pengakuan. Itu biasanya didapati pada diri pemimpin-pemimpin yang serakah. Jika suatu saat nanti kamu ingin menjadi seorang pemimpin seperti Presiden, Gubernur, Bupati atau apapun itu, jadilah pemimpin yang tidak serakah boy".

"Aku butuh adik yah bukan Presiden maupun Gubernur" balas Yosua. Ibu tersenyum lagi.

"Okey. Sekarang mari kita tentukan berapa orang yang setuju atau tidak setuju jika kalian punya adik baru. Dimulai dari ayah. Ayah setuju".

"Aku tidak" jawab Michael. 

"Aku setuju" jawab Yosua.

Ibu masih diam. Ayah bertanya.

"Bagaimana denganmu ibu mentri yang cantiknya tidak ada bandingannya?"

Ibu menatap ayah dengan mempelototinya seperti saat di loket. Ayah tahu apa maksudnya itu. Ayah mengumumkan hasil akhir perhitungan. 

"Yang setuju dua orang dan yang tidak setuju dua orang. Itu artinya skornya seri pemirsa. Sepertinya kita perlu menelfon orang paling ganteng nomor 2. Dialah jadi penentu terakhir apakah kalian akan punya adik lagi atau tidak"

Dengan semangat Yosua memberi saran kepada ayah untuk menghasut aku. "Kita kasih aja uang sama bang Bravod yah biar dia setuju".

Ayah menatap ibu.

"Ma, sepertinya ibu harus lebih memperhatikan Yosua"

"Why?"

"Dia sepertinya ingin menjadi pemimpin yang serakah, haus akan kekuasaan dan pengakuan serta pemimpin yang mau suap menyuap"

Ibu menatap ayah dengan tajam sambil berkata "Oh begitu. Saat Michael tegas melawan candaanmu tadi, kamu bilang dia meniru kepribadianmu yang tegas dan berpendirian. Lalu ketika Yosua terlihat serakah dan mau suap menyuap, kamu bilang aku harus lebih memperhatikan dia. Maksudnya kamu ingin mengatakan bahwa dalam diriku ada keserakahan dan mau suap menyuap?"

"Bukan itu maksudku sayangku cintaku" ayah panik. Ibu tidak terima. Ayah berusaha menenangkan ibu namun ibu masih ingin marah-marah. Untuk meredakannya, Michael dan Yosua sepakat bernyanyi bersama dengan suara lantang. Lagu mereka. "Datanglah ya sumber rahmat selaraskan hatiku. Menyanyikan kasih slamat yang tak kunjung berhenti".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2022

BELAJAR DARI LEA

v