INGIN DITONTON SATU KECAMATAN
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
KELAS VII
Di tahun itu lomba manortor tingkat SMP ada untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Aku ikut seleksi tetapi tidak lulus.
Biasanya setiap tahun saat menjelang 17 Agustus, kecamatan juga mengadakan lomba lari 10 Km antar SMP dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Biasanya diadakan pada tanggal 15 Agustus. Saat lomba lari, aku menontonnya. Karena rutenya melewati depan sekolah kami sebanyak 2 kali. Pas kuperhatikan aku berkata dalam hati bahwa aku sanggup mengalahkan mereka jika aku ikut. Aku yakin karena aku bukan anak yang gampang lelah. Sudah tahan uji karena dalam keseharianku aku membantu orangtua baik itu ke ladang maupun ke sawah. Tahun depan aku ikut, ucapku dalam hati.
KELAS VIII
Melihat peserta lomba lari 10 Km pada tahun sebelumnya yang begitu banyak tetapi banyak yang pingsan dan seperti sekedar ikut-ikutan saja, sekolah kami mengadakan seleksi bagi siapapun yang ingin lomba dengan mengelilingi lapangan sepakbola sekolah. Aku sudah lupa berapa kali harus dikelilingi lapangannya. Intinya aku berada di peringkat ketiga sebagai yang tercepat menuntaskan target.
Guru olahraga kami cukup heran melihatku. Saat itu aku termasuk siswa yang sangat pendek dan kurus. Tahu apa yang terjadi setelahnya? Namaku dicoret guru olahragaku itu. Ucapnya padaku. "Enggak usahlah ikut-ikut begituan. Sakit kau nanti. Menang pun berapalah hadiahnya. Udahlah. Gak usah ikut". Guru olahragaku itu adalah keluarga dekat kami. Aku hanya terdiam gara-gara keputusannya sepihak.
KELAS IX
Lomba lari 10 Km ada tetapi aku tidak ikut seleksi karena yang men-seleksi masih guru olahragaku yang di tahun sebelumnya. Aku hanya berharap secepatnya aku masuk SMA supaya aku bebas ikut.
SEKOLAH MENENGAH ATAS
KELAS X
Akhirnya 3 tahun penantian ikut lomba lari 10 Km akhirnya terwujud. Aku ikut lomba tanpa ada seleksi di sekolah.
Rutenya melewati sekolah kami sebanyak 2 kali. Ketika lewat untuk yang pertama, aku merasa seperti bintang hollywood pendatang baru yang sukses menarik perhatian para pencinta film karena aku sukses di posisi kedua untuk sementara. Tepuk tangan dan sorakan aku dapatkan. Belum lagi keluguan dan keimutanku yang masih natural saat itu menambah nilai keeksotisanku. Ngomong apa sih...
Saat lewat untuk yang kedua aku tetap seperti bintang juga walau aku sudah di posisi ketiga. Bisa dibilang dari sekolah kami sampai ke garis finish tidak lagi begitu jauh. Aku berusaha untuk mempertahankan posisi ketiga karena mengejar posisi kedua sudah mustahil saat itu. Aku sudah tertinggal jauh.
Sebenarnya pengawas lomba yang terus mengikutiku sudah berulang kali menasehatiku supaya langkah kakiku tetap netral dan terjaga. Tetapi aku yang nihil pengalaman lomba tidak mengerti apa maksud ucapannya. Kadang aku berlari dengan kencang kadang aku melambat. Akhirnya di 1 km menjelang garis finish, seseorang dari belakangku sangat ngotot melewati aku dengan berlari sekencang-kencangnya. Ketika aku terlewati aku pun terpaksa berlari kencang juga. Terjadilah persaingan ketat diantara kami berdua. Khayalanku akan maju ke depan menerima piagam juara ketiga seakan buyar. Tidak....aku harus bisa juara tiga, ucapku. Namun sayang, aku tidak bisa mengejarnya. Tak bisa bohong memang, orang yang aku lawan sudah beberapa kali juara saat lomba lari. Dia punya pengalaman. Aku tidak.
Yang sempat membuat aku senang di tahun itu adalah karena aku peringkat keempat maka aku otomatis ikut mewakili kecamatan kami untuk lomba lari 10 Km tingkat kabupaten di bulan Oktober. Namun yang terjadi adalah aku seperti terkhianati. Aku kecewa berat. Mengapa?
Juara 1-4 ialah pemain utama. Juara 5-6 jadi pemain cadangan.
Hari perlombaan pun tiba. Kami lebih dahulu upacara di Lapangan Serbaguna Tarutung. Sehabis upacara disitu juga kami dibagikan nomor peserta lomba lari. Aku tidak mendapatkan nomor peserta sementara peringkat 5 kami dapat nomor. Aku protes ke panitia. Lalu panitia menunjukkan bukti penyerahan nama-nama peserta lomba lari dari kecamatan kami. Disana namaku berada di urutan kelima. Yang artinya aku pemain cadangan. Keputusan itu tidak dapat lagi diubah karena sudah di hari perlombaan kecuali kalau ada pemain utama kami tiba-tiba sakit atau segala macamnya. Sumpah, hal itu pedih kali saat itu. Aku hanya terdiam saat menonton lomba larinya yang diadakan di lapangan Tangsi Tarutung.
KELAS XI
Lomba lari 10 Km di kecamatan tahun itu ditiadakan. Tetapi di Kabupaten tidak. Sekolah kami menyeleksi siapa yang akan dibawa ikut ke Kabupaten. Aku menang seleksi dan jadi pemain utama.
Hasilnya:
Aku hanya tembus 10 besar. Aku berada di posisi kedelapan. Aku tidak dapat apa-apa selain ketakutan akan salah daftar nama lagi itu tidak terjadi lagi.
KELAS XII
Tahun itu menjadi kesempatan terakhirku untuk mewujudkan impianku yang belum terwujud sejak SD. Mendengar lomba lari 10 Km kembali diselenggarakan kecamatan, aku senang gak kepalang. Aku berlatih setiap pagi. Bangun lebih cepat biar sempat berlari keliling desa sebelum berangkat ke sekolah. Target jelas, harus juara setidaknya juara 3.
Padahal saat itu sekolah kami untuk pertama kalinya membuat tim drumband dan aku salah satu anggotanya. Aku ikut karena saat itu yang diutamakan ikut ialah anak-anak guru, komite sekolah dsb. Ayah adalah ketua komite sekolah. Jadi aku ikut. Kebijakan itu diambil untuk tidak menitikberatkan dalam membeli alat-alat drumband dengan keuangan sekolah. Sudah dilarang guru pengajar drumband jangan ikut lomba lari namun aku tak peduli. Aku ikut lomba dengan diam-diam.
Hasilnya:
Di tahun itu adalah prestasiku paling buruk selama ikut lomba lari. Aku entah peringkat ke berapa. Aku terbuai karena pengalaman dsb. Aku merasa aku akan mudah mendapatkan juara karena yang biasa juara kakak kelasku sudah tamat.
Ketika saat lomba berjalan dan ada yang melewatiku. Aku ingin menangis bukannya termotivasi biar lari lebih kencang. Justru aku menjadi lemas bangat, letoy. Aku pun gagal bersinar. Impian untuk dipanggil ke depan saat 17 Agustus karena memenangkan sesuatu dan ditonton orang satu kecamatan benar-benar sirna. Bagiku itu adalah kegagalan besar. Dengan hasil buruk itu, aku tidak terpanggil lagi untuk ikut lomba lari antar kabupaten.
KULIAH
Jujur saat aku kuliah aku masih belum terima kegagalan itu. Berharap ada lomba lari diadakan di kecamatan namun terbuka untuk umum biar aku bisa pulang kampung. Namun tidak pernah terjadi walau tak rutin aku selalu berusaha untuk latihan lari. Lomba larinya diselenggarakan tetapi hanya untuk antar SMP dan SMA saja.
Pernah sekali aku mengikuti lomba lari maraton di Pekanbaru. Acaranya untuk perayaan ulangtahun kota Pekanbaru. Ada cerita tersendiri tentang perjuanganku untuk mendaftarkan diri jadi peserta.
Sangat bersemangat aku saat mengikuti lomba. Pesertanya beragam. Banyak dari luar provinsi. Karena saat itu Pekanbaru bersiap jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON), jadi banyak atlet dari luar Provinsi menjadikan lomba lari HUT Pekanbaru sebagai ajang pemanasan untuk PON. Tak hanya itu peserta dari luar negri juga ada seperti dari Nigeria. Juaranya orang Nigeria itu. Asli perawakan mereka tinggi-tinggi. Satu langkah kaki mereka sama dengan tiga langkah kakiku. Kamu tahulah bagaimana hasilnya. Aku bukan Daud yang bisa mengalahkan Goliath.
Dari hasil itu aku jadi intropeksi diri. Aku bercermin dan menerima semua hasil lomba lari yang pernah aku dapatkan. Aku pun memutuskan tidak lagi ikut lomba lari apapun. Namun menjadikannya sebagai olahraga ringan yang menyenangkan. Lari pagi atau lari sore.
Demikian kisah ini. Trimakasih
Komentar
Posting Komentar