Part-1. Orang-Orang Baik
Baru saja aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku mendapat pesan whatsapp yang panjang dari kakakku. Pesannya berisi curahan hatinya. Dia sedang menangis, kecewa, merasa bersalah, karena aku pergi meninggalkan dia. Sampai-sampai dia bertanya, apa sakit hatiku yang dia perbuat sehingga aku pergi? Apa yang kurang dari yang dia usahakan untuk menyenangkanku?
Aku cemas, sedih, mau marah pada diri sendiri, setelah membaca pesan kakakku. Ingin membatalkan niat untuk pergi tapi di dalam hatiku lebih besar keinginan untuk pergi daripada batal pergi. Aku balas dengan mengirim pesan ucapan trimakasih atas kasih sayangnya padaku dan memohon doanya, supaya aku berhasil atau sukses di tempat tujuanku.
Nb: Bagi siapapun yang membaca cerita ini, tolong jangan terbawa perasaan yang berlebih atau salah memahami. Apalagi di dalam cerita ini ada kisah -aku pernah suka seseorang- di masa lalu. Aku dengan yang bersangkutan sudah pernah membicarakan ini. Bahwasanya, dia mengizinkan kalau aku buat tulisan tentang dia. Dengan syarat, namanya disamarkan. Jadi kalau perlu penjelasan yang lebih jelas, boleh ditanyakan kepadaku. Dengan senang hati dan terbuka aku akan menjelaskannya.
Dua tahun sebelumnya.
Pagi harinya aku kirim pesan SMS kepada Lisa (nama samaran).
"Dek, boleh ayahku kirim uang ke ATM -mu lagi?"
"Boleh bang. Nanti kalau uangnya sudah dikirim kabari aja bang, biar uangnya aku antar ke kontrakan abang."
"Ok. Makasih ya."
Sore harinya Lisa bersama pacarnya datang ke kontrakanku. Lisa dan pacarnya naik sepeda motor. Mereka datang saat aku sedang memeriksa bunga yang aku dan teman sekamarku tanam di depan kontrakan.
Lisa menyapaku dan memujiku.
"Hai bang. Keren kali abang menanam bunga. Jarang-jarang ada cowok anak kos-kos-an yang mau nanam bunga."
"Biar ada kerjaan kalau lagi bosan dek."
"Bisa aku masuk ke kontrakan abang? Belum pernah aku masuk."
"Masuk aja kurnut, pake permisi segala." (Kurnut adalah singkatan dari Kurang Nutrisi. Aku tidak tahu siapa yang mencetuskan kurnut pertama kalinya. Di lingkaran pertemananku, kurnut telah menjadi panggilan akrab)
"Mana tahu kan cewek gak bisa masuk."
Lisa masuk ke kontrakanku. Aku mengajak pacarnya untuk ikut masuk. Namun dia memilih menunggu di luar saja.
Aku menyusul Lisa ke dalam. Dia duduk di pinggiran sebuah kasur yang tersedia di ruang tengah. Aku duduk di lantai bersandar ke dinding, agak jauh dari Lisa.
"Siapa tidur disini bang?"
"Enggak ada dek. Itu kasur yang sudah rusak. Gak dipakai lagi."
"Oh gitu. Bang, aku hauslah. Pengen minum."
"Ya udah, tunggu disini. Aku ambilkan air minum untukmu."
Aku mengambil segelas air putih ke dapur. Air putihnya kubuat hangat. Lalu kuberikan kepada Lisa.
Lisa meminum air putihnya. Dia tersenyum padaku, ucapnya: "Masih ingat ya?"
Aku tertawa mendengarnya. Kubalas: "Ialah, walau aku sempat membencimu sekian lama, kuingat ya kalau kau minum air putih, sukanya air putih hangat."
"Bagus memang abang. Ngomong-ngomong berapa tahun abang benci samaku? Haha."
"Kurang lebih 2 tahunlah."
"Hebat juga abang ya. Bisa benci selama itu. Kek mana caranya bang? aku gak bisa kek gitu." Aku cuma tertawa aja. Tambahnya lagi "Kalau nanam jagung itu dalam 2 tahun, dah bisa panen 3 kali. Haha."
"Udahlah, habiskan minumanmu itu. Bukan mau mengusir. Nanti pacarmu marah, dikiranya kita entah ngapain disini."
"Tenang bang, pacarku itu orangnya baik."
Lisa segera memberikan uang kiriman ayahku padaku. Lalu dia menghabiskan minumannya. Dia pamit pulang. Lisa dan pacarnya pun pergi.
Teman sekamarku tiba-tiba nongol (keluar dari kamar). Namanya Rudi. Dia menyeletuk.
"Enggak cemburu kau ces, melihat kakak itu jadian sama yang lain?"
"Kalapa -lah kau Rud." (Kelapa, kalau orang batak bilang kalapa.)
Sejak aku membenci Lisa sampai kurang lebih 2 tahun lamanya, dalam masa itu, kalau ayahku mau kirim uang bulananku padaku, tak pernah lagi mengirimnya lewat Lisa. Padahal setelah aku kenal dia dan kira-kira setahun lebih kami berteman akrab, ayahku selalu mengirim uang bulananku lewat Lisa.
Ketika aku terkurung dalam kebencian terhadap Lisa, banyak hal/kejadian yang jadinya tidak menyenangkan. Aku selalu berusaha menghindari dia. Misalnya; sewaktu kos kami berdekatan. Kami sering berpapasan saat pergi atau pulang kuliah. Sering juga kami bertemu di kampus. Kami satu fakultas tapi beda jurusan. Parahnya kalau ada ibadah yang diadakan IK2FPIK, Kmk-nya fakultas kami. Aku dan Lisa adalah anggota aktif. Kalau sakit hatiku bergejolak, aku memilih tidak akan datang ke ibadahnya karena sudah pasti Lisa ada disana.
Beberapa orang menyadari kejanggalan yang terjadi diantara aku dan Lisa. Saat Lisa KKN, aku mendampingi sebuah tim yang ditugaskan untuk mempersiapkan sebuah ibadah yang besar. Ketika Lisa selesai KKN, dia ikut mendampingi tim tersebut. Aku tidak datang lagi. Anggota tim yang melihat kejanggalan itu menanyakan langsung kepada Lisa. "Kak, kenapa setelah kakak datang, bg Eko tidak pernah datang lagi? Sejak awal bg Eko ya yang mendampingi kami dan menghibur kami."
Dengan bijaksana, lewat SMS, Lisa mengajakku untuk bertemu di kampus. Kami sepakat.
Lisa pintar. Dia membawa seorang teman akrabnya yang juga dekat denganku untuk bergabung dengan kami berdua. Tibalah Lisa bertanya; "Bang, kenapa abang gak pernah datang lagi mendampingi tim? Adek-adek itu rindu sama abang."
Dengan jujur dan menyakitkan, aku jawab "Jujur, aku masih membencimu. Tidak mudah bagiku menerimamu yang awalnya begitu dekat menjadi teman biasa."
Teman Lisa yang dibawa Lisa namanya Tania (nama samaran). Tania terkejut dan merasa tidak nyaman setelah mendengar jawabanku. Nampaknya dia tidak tahu apa yang sedang terjadi diantara aku dengan Lisa. Padahal awalnya dia merasa seperti penjaga nyamuk di tengah-tengah aku dan Lisa. Lisa pun tidak tahu mau bilang apa sebagai respon dari jawabanku. Tanyaku kepada Lisa "Sudah bisa aku pergi? Masih ada kegiatanku yang lain." Kami bertiga pun sama-sama pergi dari tempat pertemuan kami.
Mengapa aku benci kepada Lisa? Apa penyebabnya?
Pertama kali mengenal Lisa karena aku diajak salah seorang temanku menjemput buah ke kos Lisa. Nama temanku itu adalah Jude (nama samaran). Lisa menjanjikan oleh-oleh jeruk kepada Jude. Lisa baru datang dari kampung halamannya.
Di kos Lisa, aku berkenalan dengan Lisa. Itulah awalnya sampai kami bisa seakrab-akrab-nya. Hadirnya Lisa membawa dampak yang sangat positif bagiku. Why? Pada semester itu aku baru kembali kuliah lagi. Semester sebelumnya aku berhenti kuliah alias alpha study. Aku mengalami masa-masa kelam dalam kuliah sehingga aku memutuskan berhenti kuliah dan sempat ada niat untuk putus kuliah.
Niat untuk putus kuliah aku utarakan kepada keluargaku. Jelas, orangtuaku tidak berterima. Keputusanku itu semakin menimbulkan banyak masalah. Berkat dukungan dari teman-teman dekatku yang sebelumnya aku kenal di kampus seperti bg Surya Lumbantobing, sahabat karibku lae Wandy Leo dan yang lainnya, aku kembali kuliah lagi.
Di kampus, kepada Lisa aku menceritakan semua masalahku. Padahal kami masih baru saling kenal.
Sejak hari itu Lisa baik sekali kepadaku. Angkatanku dengannya beda 2 tahun. Dia sering mengorbankan waktunya untuk menemaniku di kampus di kala aku minder. Banyak mata kuliah yang harus aku ulang dan ambil. Apalagi ada beberapa mata kuliah dimana aku satu ruangan dengan junior yang satu jurusan. Aku mau tidak masuk ruangan kuliah karena aku minder padahal aku datang ke kampus. Lisa memotivasiku setiap kami bertemu. Dia mendengar setiap curhatanku. Dia seperti kakak untukku meski dia lebih muda dariku. Enggak seperti kakak lagi, sudah seperti orangtua. Jika kalian pernah mendengar lagu band Andra the Backbone yang berjudul Seperti Hidup Kembali, itulah yang aku rasakan setelah bertemu Lisa.
Secara perlahan kuliahku semakin membaik. Yang paling terlihat dariku adalah kepercayaan diri yang tumbuh kembali dan hasil kuliahku di semester itu sangat memuaskan. Dalam pelayanan IK2FPIK aku berani terlibat seperti menjadi ketua tim, MC, singer dsb. Aku mau bertanya pada kalian. Laki-laki mana yang jika berada di posisi aku bisa menahan hatinya tidak akan jatuh cinta kepada Lisa? Aku jatuh hati kepadanya, kepada Lisa.
Di suatu hari, disaat semuanya sedang baik-baik saja. Lisa mengajakku bertemu di sebuah ruangan kuliah yang kosong di fakultas kami. Pada saat itu tidak ada aku kefikiran hal yang lain selain saling curhat seperti biasanya. Tidak juga aku mengalami mimpi buruk pada malam sebelumnya.
Daammm!!!! Supaya aku tidak tersinggung, dengan hati-hati Lisa memengeluarkan isi hatinya. Aku yakin, sebelumnya dia sudah memilah kata-kata yang halus dan sopan untuk dia ucapkan padaku. Namun yang namanya hati, sehalus apapun perkataan, jika perkataan itu tidak menyenangkan hati, pastilah hati itu kecewa. Lisa meminta kedekatan kami dibatasi. Lisa meminta dibatasi jika aku dekat padanya kalau karena aku suka padanya. Namun kalau untuk tolong-menolong Lisa tetap mau dekat. Juga Lisa menyampaikan alasan lainnya. Aku mengenal dia. Aku tahu dia serius dengan ucapannya. Sekalipun aku tidak setuju dengan maksudnya dia, dia akan tetap pada pendiriannya.
Mendengar ungkapan hatinya, aku mau emosi kepadanya. Namun segera aku keluar dari ruangan itu meninggalkan dia. Seakan-akan aku sudah bisa menerima permintaan dia dengan lapang hati. Eh, malamnya aku telfon Lisa berkali-kali. Lisa mungkin mengangkat hp -nya tetapi tidak menekan tanda terima panggilan dariku. Lisa tidak menjawab. Begitulah terus sampai hari-hari berikutnya. Saking gak terkontrolku lagi kecewaku ketika telfonku tidak dijawab Lisa, aku lempar hp -ku ke dinding kamarku. Casing hp -ku pecah. Tetapi masih bisa aku perbaiki dengan diikat pake karet. Hahaha. Juga pernah kepalaku bagian depan aku benturkan ke dinding kamarku berharap aku bisa melupakan Lisa.
Menurut pandanganku, Lisa menjauhi aku karena dia yakin aku sudah bisa berdiri sendiri. Dia percaya akan kemampuanku. Dia ingin aku bisa melakukan pekerjaanku dengan sendiri.
Hasil kuliahku di semester itu berantakan. Aku jatuh lagi ke masa kelam, masa kelam part -2.
Semester baru aku mulai dengan hati yang tersakiti. Beban SKS yang aku bawa di semester itu tidak banyak karena IP semester sebelumnya sangat rendah. Ditambah masih ada sebelumnya mata kuliah yang tertinggal dan diulang ketika di masa kelam part -1.
Aku ingin menyerah. Aku ingin melarikan diri dari kota Pekanbaru. Ditambah tak bisa lagi aku berharap kepada Lisa.
Aku mencoba memperbaiki satu per satu dengan sendiri. Sejak awal semester baru itu aku mulai membenci Lisa sampai kurang lebih 2 tahun kedepannya.
Titik perdamaian.
Hari itu Lisa yudisium. Di depan fakultas kami, mereka para yudisium foto-foto. Aku dan beberapa orang temanku sedang duduk-duduk di bawah pohon rindang milik fakultas. Tiba-tiba Lisa mendatangi kami. Memberi semangat untuk kami. Harusnya kami yang mendatangi dia dan memberinya ucapan selamat. Tapi begitulah dia, kalau enggak rendah hati, bukan Lisa namanya.
Secara khusus, ketika aku menyalam dia, dia berkata: "Semangat abang ya. Enggak ya panjang lagi kuliah abang. Abang selesaikan secepatnya ya."
Aku berusaha menanggapinya dengan biasa. Ketika dia sudah pergi, salah seorang temanku yang juga tahu keretakan antara aku dengan Lisa melihat di wajahku masih tersirat kebencian terhadap Lisa. Temanku itu bertanya padaku: "Masih benci kau sama dia (Lisa)?"
Aku hanya diam. Berusaha menyembunyikan emosiku yang terpancing. Sejak aku membenci Lisa, begitulah aku kalau bertemu dengan Lisa. Aku mau marah, emosi, dan ingin segera pergi menjauh.
Temanku itu berbicara lagi. Katanya: "Dulu kalian begitu akrab macam suami istri. Kemana-mana sering bersama. Ketawa bersama. Enggak mungkin gak ada kebaikannya kepadamu."
Malam harinya aku kefikiran kepada Lisa. Entah karena perkataan temanku saat di kampus, aku tidak tahu. Aku gelisah.
Aku mengambil waktu untuk merenungkan semua yang telah terjadi antara aku dengan Lisa. Dari awal bertemu hingga pertemuan terakhir bersalaman di kampus. Senyum, tertawa kecil, air mata menetes, bercampur aduk kala aku merenungkannya. Diujung perenungan, timbullah pertanyaan di dalam fikiranku. Pertanyaannya yaitu: sampai kapan aku akan membenci Lisa? Kalau Lisa keluar dari Pekanbaru, apakah aku tega membiarkan dia pergi dengan mengetahui ada seseorang yang membenci dirinya? Tegakah aku memberikan kesan yang buruk kepada Lisa?
Di hari-hari berikutnya aku mencari-cari informasi tentang kemana Lisa akan pergi, apakah Lisa akan stay di Pekanbaru atau tidak? Sebab dia telah siap wisuda. Yang aku dapatkan hari itu adalah bahwa Lisa sedang sakit. Tetapi Lisa-nya istrahat di kosnya saja.
Sore harinya aku pergi ke kos Lisa. Membawa roti dan minuman ringan. Dia senang walau kaget.
"Tumben abang mau datang ke kosku ini? Kiraku abang enggak mau bertemu denganku lagi."
"Katanya kau sakit. Ternyata enggak. Masih bisa ya bicara dan tersenyum. Aku pulang aja ya." Sambil pura-pura mau keluar dari kosnya. Lisa tertawa.
"Berarti harus sering-seringlah aku sakit ya bang, biar abang mau datang melihatku?"
Di kemudian hari meski Lisa pada saat itu lagi didekati seseorang, namun aku masih mau berkunjung ke kosnya. Aku ingin dia tahu bahwa aku tidak lagi membencinya. Karena tidak lama lagi dia akan keluar dari Pekanbaru. Aku berusaha memberi kesan yang baik kepadanya. Di hadapan pria yang mendekatinya, dijambaknya rambutku. Sambil dia berkata: "Selama ini geram kali aku samamu bang. Aku sapa abang di jalan, di kampus, abang diam aja. Di ibadah-ibadah mau abang gak datang cuma menghindari aku. Dianggapnya awak kek musuhnya. Miris aku jadinya." Dijambaknya sekali lagi rambutku.
Aku dan Kakakku
Seminggu terakhir hubungan kami tidak baik. Masalahnya sepele, karena kami tidak satu pandangan terhadap satu hal. Kakakku kesal. Kalau dia sudah kesal, dia lebih suka memilih diam. Jadi seminggu itu, kalau kakakku baik pergi atau pulang dari tempat kerjanya, dia gak mau menyapa aku. Kalau aku sapapun, dia tidak menyahutnya. Karena aku tahu sifat kakakku begitu, sedikit pun tidak ada aku menaruh marah, kecewa maupun sakit hati padanya.
Apa yang telah kakakku perbuat padaku selama aku tinggal dengannya di Bekasi adalah hal yang tak pernah aku duga. Sangat berarti bagiku. Kemarin, saat aku dan teman KTB-ku membahas sebuah refleksi, dimana refleksinya menyuruh menceritakan salah satu hari terbaik, yang aku ceritakan adalah hari-hari dimana aku tinggal di Bekasi bersama kakakku.
Boleh aku katakan, jika aku tidak tinggal di Bekasi kemarin, aku tidak tahu bahwa kakakku begitu menyayangi aku. Terlebih karena dalam 8 tahun sebelumnya kami jarang bertemu. Kalau kami pun bertemu itu pas momen tahun baru saja. Itu pun seingatku hanya 2-3 kali saja. Sebelumnya kakakku kuliah dan bekerja di pulau Kalimantan. Aku kuliah di Pekanbaru. Namun saat ini kakakku bekerja di Bekasi.
Kakakku sangat menyayangiku dan memanjakanku. Bajuku selalu dicuci dan digosoknya. Aku suka Chelsea, dibelinya bajunya untukku. Kemana aku mau pergi, dia selalu izinkan dan pasti membekali aku dengan uang. Kami selalu makan bakso kalau pulang ibadah di hari minggu. Menonton film ke bioskop. Tidak pernah dia pelit padaku. Dia selalu berusaha membuat aku supaya nyaman di Bekasi.
Satu hal yang tak terlupakanku dari kakakku. Hampir-hampir aku meneteskan air mata menulis ini. Bagiku ini adalah hal besar. Ini yang aku ceritakan ke banyak orang tentang kakakku. Yaitu: dia tidak pernah menyuruhku mencari pekerjaan dalam kondisi apapun. Misalnya ketika aku tidur sampai siang hari, gak pernah sekalipun dia membanguni aku untuk menyuruhku mencari kerja. Aku bangun pasti sudah tersedia masakannya. Kalau dia gak masak pasti ada uang dia tinggalkan untukku. Dia tidak pernah menyinggungku tentang pekerjaan. Kalau aku menceritakan kegagalanku saat wawancara kerja, baru dia akan cerita tentang pekerjaan. Dia selalu menunjukkan kasih sayangnya kepadaku.
Kasih sayang yang aku dapatkan dari kakakku yang buat aku berani melangkah kemana saja aku pergi. Karena aku tahu, kalau aku gagal aku tahu kemana aku akan mengadu. Aku tahu kemana aku kalau aku ingin kembali. Kasih sayangnya yang ingin aku terapkan kepada ketiga adek kami juga kepada orang lain. Pernah aku berkata seperti ini kepada kakakku. "Aku belum tentu bisa menyayangi ketiga adek kita kak seperti kau menyayangi aku. Aku bersyukur kau begitu menyayangi aku. Aku tak bisa membalas itu semua."
Itulah mengapa aku sangat sedih dan mau marah pada diriku sendiri ketika aku dapat pesan whatsapp dari kakakku saat aku baru tiba di Bandara Soekarno-Hatta seperti diawal kisah ini. Aku meninggalkan dia bukan karena dia. Aku meninggalkan dia karena aku merasa aku tak boleh selalu dimanja dia terus. Aku merasa aku harus keluar dari zona nyamanku.
Terhubung Lisa Lagi
4 hari sebelum keberangkatanku, pada malam harinya, Lisa tiba-tiba chat aku. Aku kaget. Sampai ada perasaan, -eh ada temanku bernama Lisa rupanya-. Itu adalah komunikasi kami setelah lebih dari setahun tidak pernah komunikasi lagi. Terakhir komunikasi kami saat Lisa akan meninggalkan Kota Pekanbaru.
Lisa chat aku.
"Hai bang. Aku tidak tahu karena apa aku harus chat abang sekarang. Aku ingin tahu seperti apa kabar abang. Abang sehat?"
"Oh ya? Makasih ya udah menanyakan kabarku. Aku sehat dek. Kamu gimana?"
Malam itu kami chating -an sangat panjang. Aku curhat ke dia tentang kegusaranku tidak punya pekerjaan selama di Bekasi. Tambahku "Aku nyaman di Bekasi ini karena kakakku sangat sayang padaku. Tapi aku gak suka kehidupan disini. Manusia terlalu ramai. Dimana-mana macet. Naik bus maupun naik Krl selalu himpit-himpitan."
"Jadi abang mau keluar darisana?"
"Andai boleh memilih, aku pengen keluar dan ingin kembali ke Pekanbaru lagi."
"Kenapa kesana?"
"Mungkin aku belum bisa move on darisana. Diluar itu aku tidak suka kehidupan disini. Bagiku Bekasi maupun Jakarta seperti baju baru yang mahal tetapi tidak nyaman saat aku kenakan. Aku lebih suka kehidupan di Pekanbaru. Setidaknya aku sudah tahu banyak tentang Pekanbaru."
"Kalau begitu, kenapa abang gak ke Pekanbaru saja?"
"Aku tidak punya uang. Tidak mungkin aku minta kepada orangtuaku. Malulah aku. Selain itu aku rasa mereka akan kesal, karena mereka dah mengeluarkan uang supaya aku kesini. Ditambah keuangan keluarga kami sekarang sedang pas-pas-an."
"Kalau abang mau ke Pekanbaru, maunya naik pesawat atau naik bus?"
Aku jawab dengan enteng. "Ya jelas naik pesawatlah dek. Aku dah pernah naik bus dari Jakarta ke Tarutung 4 hari 4 malam lamanya. Rasanya melelahkan."
"Gini aja bang. Coba searching berapa harga tiket pesawat Jakarta-Pekanbaru."
Aku mencarinya, ketemu.
"Rp. 700.000-an dek."
"Carilah bang setengah lagi. Dari aku setengahnya."
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan saat itu. Ketika uangnya telah masuk ke rekeningku, langsung terbayang aku dengan kata -aku masih membencimu- yang pernah aku katakan kepadanya saat aku, Lisa dan Tania bertemu di kampus.
Aku telfon bang Surya Lumbantobing untuk menutupi setengah lagi ongkosku. Bang Surya mau. Aku telfon saudara perempuan ayahku, namboru, untuk mengirim ongkos Bus Damri dari Bekasi ke Bandara Soekarno-Hatta. Sekalian aku kasih tahu bahwa aku akan kerumahnya dan tinggal disana. Namboru -ku ini orang Pekanbaru. Namboru -ku setuju.
3 Hari Sebelum Keberangkatan.
Hubunganku dengan kakakku masih belum baik. Saat dia istrahat, karena baru pulang kerja, aku mendekatinya. Aku sampaikan niatku mau pergi ke Pekanbaru. Tetapi dia tidak memberi respon apa-apa. Lalu aku minta dia pesan tiket pesawat.
"Kak pesankan dulu tiketku. Uangnya pake uangku. Ada ya uangku." Kakakku diam saja. Aku tungguin sekian menit. Dia diam saja. Lalu aku menjauh.
Aku telfon adek si anak ketiga. Dia kuliah di pulau Kalimantan. Aku minta dia ajarin aku memesan tiket pesawat. Karena aku belum pernah memesan tiket pesawat. Adekku mengajariku.
Besok harinya aku dekati kakakku lagi. Aku sampaikan 2 hari lagi aku akan berangkat ke Pekanbaru.
"Besok malam aku ke Bandara Soekarno-Hatta kak. Aku tidur disana aja, karena aku berangkatnya jam 6 pagi besok harinya dari Bandara." Kakakku diam saja. Aku tambahkan lagi. "Belilah oleh-oleh untuk orang namboru kak. Biar agak nampak juga kau sudah bekerja. Uangku pas-pas-an. Enggak ada uangku untuk membeli oleh-oleh." Kakakku terus diam.
Besok harinya.
Genting
Hatiku tak menentu melihat sikap dingin kakakku saat dia berangkat kerja pagi itu. Aku tetap ingatkan dia bahwa malamnya aku akan ke bandara.
Hari itu hatiku tak menentu. Sampai berkali-kali aku menyakinkan hatiku, bahwa aku bukan mau berpisah selamanya dari kakakku. Aku menyakinkan hatiku bahwa pilihanku kembali ke Pekanbaru bukan jalan menuju sebuah jurang.
Saat kakakku dah tiba di kontrakan tempat tinggal kami, dia tidak bilang apa-apa saat dia melihatku telah bersiap-siap berangkat. Aku melihat dia enggak ada bawa oleh-oleh yang aku minta. Aku tidak marah. Tetapi aku menjadi gusar bagaimana caranya permisi kepadanya.
Kakakku rebahan di atas tempat tidurnya. Aku mendekatinya. Aku berkata: "kak, makasih ya atas kasih sayangmu selama aku disini. Maafkan aku kak atas kesalahan-kesalahanku. Aku pergi ya."
...
...
...
Aku tungguin, kakakku diam saja. Aku beranjak keluar dari rumah. Berat bagiku mengangkat tas yang berisi baju-bajuku melewati pintu. Bukan karena isinya banyak tetapi batin yang sedang terguncang.
Lama aku berdiri di pintu, memikirkan bagaimana caranya permisi dengan baik dari kakakku. Tetapi tidak ada lagi terfikirku cara yang lain. Aku hanya menunggu kakakku datang menghampiri aku. Lama aku tunggu, tidak ada kudengar suara langkah kakinya atau suara apapun. Hening dan tak ada suara.
Dalam sepi aku minta Tuhan berkati langkahku. Aku pun melangkah dari pintu kontrakan kami. Aku berjalan terus sampai keluar dari gang kecil ke kontrakan kami. Tanganku gemetar saat memesan grab. Sambil menunggu grab datang, aku selalu melihat ke arah belakangku, gang ke kontrakankan kami, berharap kakakku datang. Semakin mendekat grab yang aku pesan, semakin hatiku tak menentu. Seperti perasaan takut sekali.
Grab datang. Aku pasrah untuk pergi dengan keadaan yang tidak baik. Sesampainya di loket Bus Damri, Bekasi Selatan, aku terus berharap kakakku tiba-tiba datang menyusulku naik grab. Harapanku pupus setelah bus Damri yang aku tumpangi meninggalkan loket.
Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, aku mendapat pesan whatsapp dari kakakku. Isinya panjang berisi curahan hatinya. Dia sedang menangis, kecewa, merasa bersalah, karena aku pergi meninggalkan dia. Dalam pesannya dia menjelaskan bahwa dia gak rela kalau aku pergi makanya dia tidak mau memesan tiket dan membeli oleh-oleh untuk namboruku. Dia cerita bahwa dia lagi ada masalah di kerjaan. Itu sebabnya dia diam-diam di rumah. Dia bertanya; apa sakit hatiku yang dia perbuat sehingga aku pergi? Apa yang kurang dari yang dia usahakan untuk menyenangkanku?
Untuk kakakku tercinta, kak Inka. Tidak ada sakit hatiku yang kakak perbuat. Tidak ada yang kurang, bahkan itu lebih, dari usaha kakak menyenangkanku.
Tetapi asal kalian tahu, bagiku, keputusanku keluar dari Bekasi adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat sejauh ini. Awalnya aku berfikiran orang-orang akan menganggapku manusia gagal bahkan dianggap ceroboh karena meninggalkan Bekasi maupun Jakarta. Namun bagiku nilai-nilai kehidupan tentu berbeda dari yang lainnya. Seperti lingkungan hidup. Bagiku Bekasi maupun Jakarta adalah baju baru yang mahal tetapi tidak nyaman saat aku kenakan.
Tambahan yang membuatku keputusan keluar dari Bekasi adalah keputusan terbaik adalah karena 2-3 minggu setelah keluar dari Bekasi, aktivitas penerbangan ditutup sementara karena Covid-19. Jadi ketika aku keluar dari Bekasi itu adalah awal-awal Covid-19 menyebar ke Indonesia. Kejadian itu di bulan Maret 2020. Gak terbayangku seberapa suntuknya aku kalau aku masih disana dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan, apalagi saat itu Bekasi termasuk kota yang parah dan aturan PSBB-nya sangat ketat akibat Covid-19.
4 bulan kemudian, bulan Juli, aku berulangtahun. Diam-diam kakakku mengirim sejumlah uang kepadaku untuk beli kue ulangtahun. Dia chat aku mengucapkan selamat ulangtahun. Itu adalah komunikasi kami setelah terakhir kalinya pesan whatsapp -nya yang aku terima saat di Bandara Soekarno-Hatta.
Lisa Menikah
Sesudah aku di Pekanbaru, sebelum aku dapat pekerjaan, Lisa masih sering membantuku dengan meminjamkan uangnya. Tetapi gak pernah dimintanya kembali. Paket dataku terkadang diisinya diam-diam. Padahal dia akan menikah. Sampai-sampai aku merasa dia berbuat baik padaku, mengorbankan sejumlah uangnya, seperti ingin menebus sakit hatiku kepadanya yang terjadi sewaktu kuliah. Jadi aku merasa bersalah. Aku jadi membatasi komunikasi kami. Enggak mau lagi aku jujur-jujur kali kepadanya. Kalau aku enggak ada uang, aku bilang masih banyak uangku.
Awal bulan Desember. Dia mengirim sebuah foto sedang berada di dalam rumah kepadaku. Bukan rumah mereka.
"Tebak aku lagi dimana bang?"
Enggak mikir panjang lagi. Aku jawab. "Di rumah mertuamu."
"Iya bang. Baru selesai pembicaraan antara keluargaku dengan keluarga pacarku. Jadi bang, pesta kami nanti di bulan 1, bulan depan. Di luar kedua keluarga kami, abanglah yang tahu tentang rencana ini. Cepat nyusul ya bang."
"Okey dek. Tuhan yang memberkati keluarga kalian ya."
"Amin."
Pernah aku buat status di facebook tentang arti Lisa bagiku. Statusnya aku buat sewaktu dia telah meninggalkan Pekanbaru. Isinya: Terkadang Tuhan menghadirkan seseorang (lawan jenis) yang dapat mengerti kita, tetapi bukan berarti dia adalah teman hidup (pasangan) yang sebenarnya. Bisa saja dia 'alat' sebagai teman dekat yang dipakai Tuhan untuk menolong kita.
Komentar
Posting Komentar