Part-2. Orang-Orang Baik

Aku dan si Bapak Tua

Pengumuman itu sampai ke telingaku. Dalam rangka merayakan hari jadi Kota Pekanbaru yang kesekian kalinya, Pekanbaru mengadakan lomba lari maraton dengan hadiah puluhan juta.

Aku bersemangat mau mendaftarkan diri menjadi peserta lomba lari maraton tersebut. Sebelumnya, sewaktu aku masih SMA, aku pernah ikut lomba lari 10 Km di tingkat kecamatan juga di tingkat kabupaten. Prestasi tertinggi yang aku raih ialah juara 4 di tingkat kecamatan dan masuk 10 besar di tingkat kabupaten. Modal itu menjadi bekalku untuk ikut menjadi peserta lomba lari hari jadi Pekanbaru.

Aku cari tahu informasinya, kapan lombanya diadakan, dimana pendaftarannya dan apa syarat jadi peserta lomba. Namun tak ada satu orang pun yang bisa memberi informasi yang pasti kepadaku. Tahun itu belum semaju tahun sekarang. Informasi masih terbatas.

Jika kalian sudah membaca tulisanku sebelumnya yaitu berjudul part -1. Orang-Orang Baik, disana ada aku ceritakan bahwa aku mengalami dua kali masa kelam sewaktu kuliah. Nah, saat aku mau daftar peserta lomba lari maraton Pekanbaru, itu aku dalam masa kelam yang pertama. Masa kelam itu yang membuatku ingin sekali merubah hidupku. Jika aku menang, aku akan meninggalkan kuliahku. Aku mau jadi atlet saja. Itulah misiku ikut lomba.

Gara-gara informasi yang aku dapatkan tidak jelas, aku memutuskan mencarinya sendiri ke kota. Sesampainya di kota, aku pergi ke dinas-dinas yang memungkinkan mengetahui lomba tersebut, seperti dinas pemuda dan olahraga. Anehnya, dari mereka juga informasinya tidak jelas. Aku pergi ke dinas yang lain, terkadang jalan kaki terkadang naik oplet atau angkot. Sampai uang yang di sakuku habis, informasinya belum juga ketemu.

Aku berkesimpulan, jangan-jangan memang lombanya enggak ada. Karena sempat aku merasa seperti dibodoh-bodohi orang-orang tertentu dan menganggap orang-orang yang aku temui tidak profesional dalam bidangnya.

Aku memutuskan untuk pulang saja ke kos. Perutku berbunyi, aku lapar. Uang di saku habis. Jangankan untuk beli nasi, Rp. 4.000 untuk ongkos pulang naik bus kota enggak ada. Sebelumnya aku hanya membawa uang Rp. 10.000,- saja. 

Aku melihat seseorang yang berpakaian rapi sedang di depan sebuah ATM. Aku mendekatinya. Aku meminta tolong kepadanya untuk memberiku uang Rp. 4.000 untuk ongkosku pulang ke kosku, di Panam, sambil kuceritakan kondisiku. Namun si bapak mengelak.

Aku pun memutuskan berjalan kaki. Dalam kondisi lapar dan haus, aku berhenti di satu bundara di tengah kota. Sekarang di dekat bundaran itu telah dibangun sebuah taman disebut taman Kota. Dulu disana, ada ditanam bunga di atas tembok (seperti dinding), sehingga dibawahnya bisa berteduh dan ada juga tempat duduk disediakan. Aku berteduh disana. Disana ada seorang bapak-bapak tua sedang menjahit sepatu. Profesi bapak itu penjahit sepatu jalanan.

Bapak itu melirikku. Dia memperhatikan bajuku yang sudah basah akibat keringatan berjalan kaki. Saat itu cuaca sangat panas meski hari sudah mau sore. 
"Darimana kamu dek, kok bisa keringatan begitu?"
Lalu aku ceritakan kepada bapak itu tentang tujuanku ke kota yang gagal mendapatkan informasi lomba lari dan kehabisan uang sehingga memutuskan berjalan kaki untuk pulang ke Panam. Sebagai informasi, jarak kota Pekanbaru ke Panam sekitar 13Km. Jika ditempuh berjalan kaki menghabiskan waktu sekitar 2,5 jam. Aku tidak takut untuk berjalan kaki. Aku merasa tidak sanggup lagi karena aku dalam kondisi lapar dan haus.

Bapak itu memberikan aku minumannya sebotol aqua.
"Minum dulu dek." Aku meminumnya.

Melihat sebuah bus kota datang dari jauh, si bapak mengeluarkan 2 lembar uang 5.000 dari sakunya dan memberikannya kepadaku. Padahal ongkos hanya Rp. 4.000 saja.
"Ini pakailah dek. Itu bus kota sudah datang. Kamu naik itu saja." Aku hanya bisa mengucapkan trimakasih kepada bapak itu. Segera kulambaikan tanganku memberi tanda kepada bus kota supaya busnya berhenti. Lalu aku naik dan pulang.

Di tengah perjalanan pulang, memasuki Jl. Arifin Ahmad, belum jauh dari simpang menuju ke Bandara Sultan Syarif Kasim II, dari kaca bus kota yang aku tumpangi, aku melihat sebuah spanduk tentang lomba lari maraton. Dengan mendadak, aku minta turun dari busnya. Aku mendekati area spanduk tersebut. Aku senang gak kepalang. Itu adalah informasi yang aku cari-cari. Lupa aku apa nama dinasnya.

Segera aku masuk ke dalam kantor dinas tersebut. Mereka sedang bersiap mau pulang karena memang hari sudah sore. Mereka tetap menyambutku dan menerima aku mendaftarkan diri. Setelah selesai mendaftarkan diri, mereka memberi aku baju peserta. Hatiku, senangnya gak kepalang. Soalnya sewaktu aku ikut lomba lari saat aku masih SMA, baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabaputen, peserta lomba hanya mendapatkan nomor peserta saja yang dibuat dari kertas. Ini tidak. Setiap peserta dapat baju, dimana dibagian depan baju telah ditulis nomor peserta. Di bagian belakang tertulis lomba lari maraton Pekanbaru. Ada kebanggaan tersediri dengan memiliki baju itu.

Aku naik bus kota yang lain saat pulang ke Panam. Dalam hati aku berikthiar, jika aku menang, yang pertama aku jumpai ialah si bapak tua yang aku temui di Bundaran Kota. Aku akan memberikan sebagian dari hadiahnya nanti. Malamnya aku tidur memakai baju peserta lomba lari yang akan aku gunakan saat lomba nanti. Aku peserta dengan nomor baju 1000-an.

Tidak banyak waktu untuk persiapan lomba, karena hari perlombaan sudah dekat. Tibalah hari perlombaan. 

Sesampainya di titik kumpul, aku sudah kena mental duluan melihat sebagian peserta lomba yang pada berperawakan tinggi-tinggi.
Dalam hatiku "Sudah pasti langkah mereka panjang-panjang. Aku melangkah 2x, mereka cukup sekali saja." Aku lihat badan mereka kekar-kekar. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka adalah atlet benaran. Benar saja, ketika aku tanya-tanya kepada beberapa peserta yang lainnya, sebagian yang ikut lomba adalah atlet-atlet lari perwakilan dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Mereka menjadikan ajang tersebut sebagai ajang percobaan/pemanasan karena sebentar lagi akan ada Pekan Olahraga Nasional dimana tuan rumahnya ialah Provinsi Riau. Tidak hanya mereka yang ikut lomba, peserta dari luar negri pun ada. Kampret -lah ucapku dalam hati. Padahal sebelumnya aku sangat yakin bisa menang karena perkiraanku pesertanya paling anak-anak mahasiswa saja atau orang umum dimana mereka asli orang-orang Pekanbaru. Aku mikir, aku yang dari kampung-kampung, yang sudah bekerja ke ladang dan ke sawah sejak dari sono -nya pasti lebih kuat dari mereka yang besarnya di kota. Dugaanku salah total.

Hasilnya, aku sampai di finish tetapi peringkatnya tidak penting untuk dicatat maupun dijelaskan. Bayangin, karena jalur larinya memutar, pas aku sudah memutar dan hendak lewat dari depan titik start, para penonton sudah berteriak-teriak menyambut pemenang lomba. Aku masih harus memutar ke depan beberapa km lagi. Membagongkan.

Mengetahui pemenang lomba sudah pasti orangnya siapa, aku pengen berhenti lari. Mau jalan kaki saja. Tetapi dalam hati kecilku, aku ingin menuntaskan perlombaan itu sampai finish.

Aku terus berlari. Para peserta yang aku lewati sudah pada berjalan kaki. Sepertinya mereka tidak semangat berlari lagi karena mereka sama denganku, sudah tahu bahwa yang juara telah sampai di finish. Aku ingat, ada seseorang yang men- cemeeh- ku karena aku terus berlari.
"Udahlah. Capek kau terus berlari. Gak ada harapanmu untuk juara." Namun aku terus berlari sampai ke finish. 

Panitia membagikan snack kepada semua peserta. Baik peserta yang pingsan, peserta yang memutuskan kembali ke titik start dari tengah arena lomba, peserta yang sampai di finish dengan berjalan kaki, juga peserta seperti aku yang sampai di finish dengan berlari tetapi tidak tahu peringkat yang keberapa. Hatiku sedikit terhibur karena snack -nya enak. Harapanku untuk menjumpai si bapak tua pupus.

Aku Dan Si Ibu Paruh Baya Beserta Yang Lainnya
Supaya aku bisa melakukan penelitian di Serdang Bedagai, peraturan terbaru mengharuskan aku mengurus surat izin penelitian ke Kantor Gubernur Riau untuk aku teruskan ke Kantor Gubernur Sumatera Utara. Di kedua kantor Gubernur tersebut, ada bagian tertentu yang mengurus surat izinku.

"Yakin kamu nak pergi ke Medan sendiri saja?" Tanya ayahku saat mengetahui niatku pergi ke Medan seorang diri saja. Sebelum ke Medan aku lebih dahulu pulang kampung ke Kec. Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara. Ayahku tahu bahwa belum pernah sekalipun aku ke Medan meskipun aku lahir dan besarnya di Sipahutar. Pernah sekali aku dan kakakku ke Belawan sewaktu aku baru tamat SD. Tetapi itu tidak cukup dijadikan pengalaman untuk pergi seorang diri ke Medan.

Balasku menyakinkan ayahku. "Karena aku belum pernah ke Medan pak makanya aku tertantang pergi sendiri kesana. Aku mau lihat, aku laki-laki seperti apa setelah tiba disana."

Perjalananku ke Medan inilah awal aku suka berpetualang, apalagi berjalan kaki. Aku suka membayangkan diriku berjalan kaki di dalam suatu kota/daerah dimana aku belum pernah ke tempat itu. Semua itu karena aku terhipnotis setelah membaca salah satu buku penulis favoritku yaitu Andrea Hirata yang berjudul Edensor. (Andrea Hirata adalah penulis buku Laskar Pelangi). Tentang hal ini, aku sudah ceritakan dalam tulisanku berjudul Alam Bercerita. Silahkan dibaca dahulu☺

Aku naik bus Moria dari kampungku berangkatnya pada malam hari. Sekitar jam 4 subuh aku sudah sampai di Medan. Berkat arahan orang-orang yang aku tanyai di loket Moria tersebut, mereka menganjurkan aku naik angkot warna orange no. 76. Angkot 76 bisa membawa aku ke dekat Kantor Gubernur Sumut.

Sesampainya aku di depan Kantor Gubernur Sumut, aku lihat spanduk yang besar di atap kantor tersebut. Spanduknya berupa gambar Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut. Aku lihat salah satu gambarnya seorang wanita. Aku bertanya dalam hati. "Kapan gubernur atau wakil gubernur Riau seorang perempuan? Kemarin saat mengurus surat izin (sewaktu di kantor gubernur Riau) gubernurnya seorang laki-laki ya."

Lalu aku baca tulisan dibawah gambar ibu itu. Tertera disana namanya yaitu Dr. Ir. Hj. R. Sabrina, M. Si. Lalu aku baca dibawah tulisan namanya, tertera, Plt. Gubernur Sumut. Langsung ketepuk jidatku. Aku baru sadar bahwa aku sudah berada di Medan. Efek kurang tidur saat berada di bus Moria.

Aku masuk ke kantor Gubernur Sumut. Aku jumpai lebih dahulu Satpam yang bertugas di bagian depan kantor. Aku sampaikan tujuanku kepadanya. Lalu aku diarahkan ke sebuah ruangan. Di ruangan itu aku disambut seorang ibu paruh baya.

Sambil memeriksa dokumen-dokumenku, si ibu menanyakan aku datang sama siapa, asalnya darimana, dan banyak lagi. Dia kaget juga terlihat kagum akan keberanianku datang seorang diri saja, padahal sebelumnya tak pernah sekalipun aku ke Medan.
Tanya si ibu padaku "Kau tahu Medan ini seperti apa nak? Enggak ada orang yang kau kenal disini?"
"Enggak tahu bu. Ada ya yang kukenal di Medan ini bu. Sengajanya aku enggak ada menghubunginya untuk menemaniku karena aku penasaran seperti apa kota Medan ini bu."

Sekitar 30 menit kemudian, si ibu menyerahkan sebuah surat untuk aku teruskan ke Dinas Balitbang di Jl. Gatot Subroto. Karena aku tidak tahu dimana Jl. Gatot Subroto, si ibu menerangkan panjang lebar arah kesana. Si ibu juga memberitahu warna dan nomor angkot kesana. Si ibu terlihat tidak tenang, dia seperti dapat melihat bahwa aku akan masuk ke dalam bahaya.

Dia mengantarkan aku sampai keluar dari kantor Gubernur. Tak tenang juga hatinya, diantarnya aku sampai ke jalan raya, tempat menunggu angkot untuk memastikan angkot yang akan aku tumpangi. Tetapi angkot tak kunjung datang, si ibu pamit kembali ke ruangannya karena masih ada pekerjaan yang harus dia kerjakan. Pesan terakhir si ibu. "Kalau kamu ada masalah nanti nak, kembali aja kesini ya. Jumpai ibu nanti."
"Iya ibu. Makasih bu." Si ibu pun pergi. Sampai disini pertemuanku dengan si ibu paruh baya itu.

Apa yang dikhawatirkan si ibu benaran terjadi. Aku ceritakan ya ada 2 masalah yang menimpaku selama di Medan, tetapi aku tidak kembali kepada si ibu paruh baya itu. Aku hadapi sendiri.

Masalah pertama. Digoda tante-tante.
Setelah aku naik ke angkot yang disarankan oleh si ibu paruh baya, aku sampaikan kepada si supir angkot dimana aku harus turun. Setelah tiba di Jl. Gatot Subroto ternyata si supir angkot tidak tahu dimana letak Kantor Balitbang. Sesampainya di salah satu ujung Jl. Gatot Subroto, si supir berkata padaku "Aduh bang, ini sudah di ujung. Gimana ini?"
"Ya udah bang. Aku turun disini aja. Biar aku cari sendiri."
"Oke bang. Maaf ya."
"Tak apa-apa bang."

Aku berjalan kaki di sepanjang Jl. Gatot Subroto. Ketika melewati sebuah ruko, ada yang memanggilku dengan lembut.
"Deeekk"
Dalam hatiku. "Keknya bukan akulah yang dia panggil. Langsung siapa yang kenal aku di Medan ini."
Aku dipanggil sekali lagi. "Deekk."
Aku berhenti melangkah lalu putar badan. Kulihat ada seorang wanita, katakanlah tante-tante, matanya tertuju kepadaku. Aku bertanya kepadanya. "Aku bu?"
"Iya. Sinilah" tangannya ikut memanggilku. Ketika mau sampai di depan ruko tersebut, si tante duduk di dekat pintu masuk, pintunya sedang terbuka, tak sengaja aku melihat ada wanita seksi di dalam. Kuperhatikan sekilas senyum si tante yang memanggilku, langsung putar balik aku, melangkah lebih cepat. "Gak betul ini." guratku dalam hati.

Si tante berdiri lalu melangkah hendak mengejarku sambil memanggilku. "Sayang sinilah bentar. Sayang sinilah."
Dalam hatiku. "Sial. Bisa hilang masa depanku di Medan ini, padahal belum ada sehari awak disini."

Masalah kedua. Dipalak preman.
Di hari kedua aku di Medan, aku turun dari angkot yang aku tumpangi di simpang Carefoor, di Jl. Gatot Subroto. Sehari sebelumnya, aku telah selesai dari Dinas Balitbang. Tetapi ada lagi surat yang harus aku teruskan ke Dinas A (lupa aku nama dinasnya). Letak dinas A ini, kata pegawai yang mengurus suratku di Balitbang, kantornya ada di dekat kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Malamnya aku tidur di- (lupa juga aku nama daerahnya), pokoknya aku tidur di kosnya satu kampungku yang sedang kuliah di Medan. Teman sekampungku itu menganjurkan aku cari angkot ke UISU dari simpang Carefoor.

Saat mataku melihat ke kiri dan ke kanan memperhatikan angkot sesuai saran teman sekampungku itu, seorang bapak-bapak menarik tasku sehingga aku nurut hingga duduk di dekatnya. Awalnya aku kira dia polisi.
"Sini aku check dulu tasmu, manatahu ada kau bawa narkoba." Kubuka tasku, kuperlihatkan pakaianku dan beberapa benda-benda kecil (alat penelitian) seperti camera.

Ucapku padanya "Enggak ada narkoba kan pak? Berarti sudah bisa aku pergi." Dia berusaha meraih camera -ku. Firasatku mulai ngak enak. Camera -ku segera kuamankan. Terjadilah tarik menarik tasku diantara kami berdua. Ada ya beberapa orang dewasa di sekitar itu, tetapi tidak ada yang berani menolongku. Mereka menonton kami tetapi seolah-seolah mereka tidak ada disana.

Aku berhasil menarik tasku tetapi aku kebingungan dan ketakutan mau lari kemana sehingga aku lari ke arah becak terdekat yang sedang parkir disana. Si preman mencoba mengejarku dan menghadangku. Jadi kami berdua seperti orang gila yang lari-lari mengelilingi becak itu.

Premannya berhenti mengejarku dan mengancamku. "Kalau kau mau selamat, berikan aku uang."
"Berapa?"
"Pasti kau banyak bawa uang. Bagilah aku setengah." Aku sempatkan curhat padanya bahwa aku ke Medan karena ada urusan. Uang yang aku bawa adalah untuk kebutuhanku selama penelitian. "Ini pun belum tentu cukup samaku" tandasku. Dicaci makinya aku dengan bahasa kasar dan memaksa aku segera memberi dia uang serta mengancam keselamatanku.

Pinta preman itu dengan amarah karena dia belum juga bisa mengejarku. "Belum makan aku ba*i. Cepatlah berikan uangnya."
"Kalau untuk sekali makan, bisa aku kasih. Lebih dari itu, ngak bisa aku kasih." Sambil aku lihat dan pastiin arah kemana aku akan melarikan diri.
"Sinilah Rp.500.000 anji*g." Kukeluarkan Rp. 10.000 dan kuletakkan diatas atap becak yang kami intari. Premannya marah.
"Kau kira aku anak kecil ba*i, untuk apakulah 10.000?" Kutambahi Rp. 5.000. Lalu aku lari terbirit-birit ke arah yang sudah aku tetapkan.

Di tengah ketakutan dan kepanikan aku mencoba mempelajari jalan dimana aku sedang berhenti. Aku perhatikan sangat sedikit angkot yang lewat darisana. Angkot yang dianjurkan teman sekampungku itu tidak ada lewat darisana. Dalam hatiku "Matilah aku. Aku salah pilih arah melarikan diri. Mau enggak mau aku harus kembali ke Jl. Gatot Subroto."

Dengan perasaan cemas dan takut aku kembali ke simpang Carefoor. Tetapi aku berusaha untuk tenang, melangkah dengan santai. Aku memilih berjalan kaki dari seberang tempat aku dipalak preman itu. Ketika aku lewat, aku lihat preman yang malak aku itu masih ada disana. Dia sedang duduk-duduk.

Sesampainya di simpang Carefoor, aku langsung belok kiri. Karena aku tahu arahnya ke kantor Dinas Balitbang. Tak sengaja aku melihat ke sisi seberangku. Ada anak-anak sekolah sepertinya sedang menunggu bus/angkot menatapku tetapi tatapannya seperti meng-isyaratkan aku dalam keadaan bahaya. Mereka sepertinya menonton kejadian antara aku dan si preman yang kejar-kejaran mengintari becak itu. Aku lihat sekali lagi anak-anak sekolah itu, tatapannya sepertinya semakin tajam. Aku lihat ke arah belakangku, ternyata si preman yang malak aku tu telah mengikuti aku. "Kampret."

Aku mempercepat langkahku. Aku semakin panik dan takut. Sesekali aku perhatikan si preman juga angkot yang mau lewat. Ketika ada angkot yang lewat, segera kuminta stop, lalu aku naik walaupun aku tak tahu kemana arah angkotnya. Aku tak sempat memperhatikan warna dan nomor angkotnya.

Di dalam angkot, ada seorang ibu-ibu yang memakai dinas kepemerintahan. Dia seperti curiga namun kasihan kepadaku. "Mau kemana dek? Wajahmu kok pucat?"
Kepada si ibu aku ceritakan kejadian dipalak preman sambil menunjuk si preman itu yang bisa kami lihat dari dalam angkot lewat kaca bagian belakang angkot. Si ibu bertanya aku darimana dan tujuanku hendak kemana. Aku memberitahukannya. Lalu si ibu meminta si supir angkot menurunkan aku di depan Dinas Balitbang. Si ibu menganjurkan aku langsung menyeberang dari depan dinas Balitbang dan darisana naik angkot jenis tertentu, dimana angkotnya bisa membawa aku ke UISU.

Aku pun mengikuti anjuran si ibu. Ketika berada dalam angkot yang aku tumpangi, ada satu orang penumpang wanita meminta turun di Simpang Carefoor. Perasaanku kembali gak enak. Karena memang angkotnya melewati simpang Carefoor sementara aku duduknya di pintu masuk pakai bangku tambahan. "Matilah aku."

Angkot berhenti di simpang. Kulirik sekilas, si preman yang malak aku itu mendekati angkot yang aku tumpangi. Dia minta uang ke si supir angkot. Kalau si preman teliti, harusnya dari warna bajuku yang terlihat keluar, harusnya dia bisa mengenalku. Aku berusaha menyembunyikan wajahku dengan tidak melihat ke arah luar. "Permisi bang, aku mau keluar." Ucap si penumpang wanita yang mau turun disitu. Aku seperti keberatan untuk membuka jalan untuknya karena saking ketakutannya aku. Si penumpang meminta sekali lagi supaya dia boleh keluar. Aku beri dia jalan dengan menggeser kakiku. Aku tidak mau turun dari dalam angkot.
"Praaakkk" Si preman membanting pintu angkot bagian depan sisi kiri angkot. Dia marah ke si supir angkot karena si supir angkot tidak mau memberi uangnya. Si supir menjelaskan pakai bahasa batak bahwa dia masih baru narik.
"Maaf jo katua. On dope au manarik. So adong dope keuntungan. (Maaf dulu ketua. Ini aku baru menarik penumpang. Belum ada keuntungan yang aku dapatkan." Dalam hatiku "Lampet lampet, halak batak do hape. Bodat. (Lampet lampet, orang bataknya rupanya. Monyet.) *Lampet adalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan gula bata/gula merah.

Si preman membalas dengan cacian yang semakin tak terkontrol. Si supir sepertinya tidak mau berlama-lama berurusan sama dia, akhirnya dia memberikan sejumlah uang kepada si preman. Angkot pun melaju.

Setelah agak lama dan kemudian hanya aku yang tinggal di dalam angkot, aku mendekati si supir dengan duduk di bangku penumpang pas dibelakang bangkunya. Lalu aku ceritakan pakai bahasa batak kejadian dimana si preman yang baru malak dia sudah memalak aku lebih dahulu. Si supir malah semakin bertambah kesal. Ucapnya "jolma te doi. Marga Z (marga samaran) doi. (Manusia taiknya itu. Marga Z-nya marganya itu.)

Sesampainya di sebuah simpang dibawah sebuah jembatan layang (aku tidak tahu nama jalannya maupun daerahnya), si supir tiba-tiba mengeluh bahwa UISU sudah lewat.
"Alani si tei mai, so huingot be didia ho turun. (Gara-gara si taik (preman) itulah aku jadi lupa dimana kamu turun.)
Sempat aku mau diturunkan di simpang itu dan menganjurkan aku naik angkot yang dia sarankan, tetapi ongkosnya dari dia. Tetapi dia langsung sadar bahwa aku baru kena palak preman sehingga dia tidak jadi menurunkan aku disana karena disimpang itu ada juga premannya. Lalu dibawanya aku ke suatu jalan. Angkotnya sengaja dibawanya pelan-pelan sambil menunggu angkot kawannya lewat dari arah berlawanan. Ketika dia melihat salah satu angkot kawannya, dia menitipkan aku kesana. Dia juga menceritakan ke kawannya itu tentang kejadian yang menimpa dia dan yang menimpa aku. "Antarkan dulu dia (maksudnya aku) ke depan UISU lae. Kasihan aku melihat dia. Dia bukan orang sini." Juga tak lupa dia memberikan langsung ke kawannya itu sejumlah uang sebagai ongkosku. Beberapa saat kemudian aku pun tiba di depan UISU.

Setelah aku menemukan kantor dinas yang aku tuju, kata pegawainya, ternyata tidak perlu lagi melanjutkan suratnya kepada mereka. Surat yang aku bawa dari dinas Balitbang sudah bisa aku bawa ke Dinas Perikanan Serdang Bedagai. Dalam hati aku mau mencarut.

Saat izin keluar darisana, aku tanyakan kepada si pegawai, kalau ke Simpang Beo, Tebing Tinggi, naik bus apa. Aku mau ke Simpang Beo karena disana ada keluargaku. Sebelumnya aku sudah izin kepada keluargaku itu supaya aku menginap di rumah mereka setelah urusanku siap dari Medan. Si pegawai mengarahkanku. Arahannya tepat. Sekitar 3 jam kemudian, aku tiba di Simpang Beo.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

2022

BELAJAR DARI LEA

v